Senin, 28 Oktober 2013

TEORI ORGANISASI PENYAKIT BIROKRAS



TINJAUAN PENYAKIT BIROKRASI DARI SISI TEORI ORGANISASI
( Studi Kasus di Pemerintah Kabupaten Brebes) 

 
pendahuluan
Pelaksanaan otonomi di beberapa daerah kota/kabupaten di Indonesia, sehubungan dengan fungsi pemerintah daerah sebagai penyedia layanan publik (public service provider) masih jauh dari harapan masyarakat. Pola juraganisme (minta dilayani) masih saja terjadi dan bukan sebaliknya. Bila ini terus terjadi tanpa adanya perubahan pola kinerja aparatur negara dikhawatirkan akan memberkas menjadi sebuah mindset PNS di kemudian hari. Pada akhirnya akan mengganggu efektivitas kinerja aparatur negara di daerah yang umumnya masih rendah. Ini bisa dirasakan dari pelayanan yang lamban maupun penyelesaian pembangunan daerah yang tidak tepat waktu.
Padahal semangat otonomi daerah melalui UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah semakin terbuka bagi setiap pemerintah daerah untuk dapat lebih mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sehingga patologi birokrasi dapat ditekan dan mungkin dihindarkan. Dengan demikian akan lebih mendekatkan akses masyarakat kepada pemerintah. Selain membawa konsekuensi logis, maka akan lebih jelas tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pelayanan kepentingan masyarakatnya. Dalam arti luas, birokrasi dalam pelayanan publik akan mewujudkan suatu tata kepemerintahan yang baik (good governance).

Di samping itu, otonomi daerah harus juga diyakini sebagai alat yang dapat mengakomodasi arus semangat reformasi dalam hal pemberantasan KKN di setiap lini birokrasi pemerintahan, sehingga harapan pelayanan prima benar-benar bisa terwujudkan di level pemerintahan yang paling rendah sekalipun. Artinya pelayanan tersebut dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan melebihi dari standar yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Good governance menjadi isu yang aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil secara profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. 
Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.
Sebelum reformasi bergulir, birokrasi seolah hanya menjadi mesin salah satu parpol yang segala tindakannya selalu membawa visi misi parpol tertentu yang memegang tampuk kekuasaan. Birokrasi tidak lagi independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada era reformasi ini, banyak peluang bagi birokrasi untuk bersikap netral dan hanya menjalankan tugas administratif. Birokrasi sebagai satu lembaga yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat politisi, sudah saatnya dibangun dengan menganut prinsip rasional dan efisien. Dengan prinsip ini, birokrasi dapat berkembang dan tampil profesional. Terlepas dari berbagai permasalahan yang mewarnai birokrasi itu, harus diyakini bahwa untuk menjadikan birokrasi profesional itu tidak mudah. Tetapi, bagaimana ide ini harus dilakukan. Jika birokrasi tidak mereformasi dirinya untuk tampil 
Oleh karena itu, birokrasi harus mampu mereformasi diri, menjadi sosok profesional dengan pelayanan prima dan berlaku sebagai abdi negara dan masyarakat, siap atau tidak siap.
Hal lain yang juga menjadi penghambat upaya mewujudkan birokrasi yang profesional adalah adanya penyakit dalam tubuh birokrasi yang disebut patologi birokrasi. Patologi birokrasi ini yang menyebabkan imej masyarakat negatif tentang birokrasi. Menurut Siagian (1995), patologi birokrasi dapat muncul karena beberapa hal. Yaitu: persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, tindakan birokrat yang melanggar norma hukum,  manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional, akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. Patologi birokrasi ini harus dicermati untuk mewujudkan birokrasi profesional. Jika hal ini terus berlangsung, akan tercipta kondisi pemerintahan yang buruk (bad reputation of bureaucracy). 
 
PERMASALAHAN PATOLOGI BIROKRASI ( Studi Kasus di Pemkab Brebes ) : 
Bagaimana Pelaksanaan Patologi Birokrasi di Pemerintah Kabupaten Brebes bila di tinjau dari Sisi Teori Organisasi. Fenomena apa yang menarik dan tidak menarik di sisi patologi birokrasi di Pemkab Brebes, Adakah bahan pendukung fakta atau realita patologi birokrasi di Kabupaten Brebes. Dan upaya  apa sajakah yang telah dilakukan di Pemkab Brebes untuk memecahkan  patologi birokrasi. 

PEMECAHAN STUDI KASUS PATOLOGI BIROKRASI DI PEMKAB BREBES MELALUI PENDEKATAN KLASIK DAN NEO KLASIK
Dalam era reformasi saat ini, tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik adalah sesuatu yang cukup beralasan dan tidak berlebihan, mengingat sampai sejauh ini masyarakat masih menilai bahwa kualitas pelayanan publik masih rendah serta kinerja pelayanan publik khususnya oleh pemerintah daerah masih sangat jauh dari yang diharapkan (Dwiyanto, 2002).
Pada sisi yang lain, kualitas aparatur di daerah yang berada di bawah standar, mengakibatkan kesulitan bagi pimpinan unit kerja untuk membagi tugas secara merata. Gaji rendah (alasan klasik), menyebabkan aparatur akan cari tambahan melalui kerja sampingan yang pada umumnya akan mengganggu kegiatan rutin di kantor. Selain itu, penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya dapat menimbulkan masalah pada manajemen kantor serta dapat mengakibatkan kegagalan pada pencapaian tujuan organisasi. Beban kerja tidak dibagi habis ke seluruh staf, sehingga ada staf yang tidak punya tugas hal ini dapat mengakibatkan ketidakseimbangan beban kerja yang dapat menimbulkan gangguan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
 
Untuk itu pimpinan unit kerja harus terlebih dahulu memerincikan semua tugas dan tanggung jawab instansi sampai pada level aparatur yang paling rendah. Di sini penting dilakukannya pengelompokan tugas-tugas, sehingga dapat ditetapkan siapa akan mengerjakan apa dan kapan harus diselesaikan serta mewajibkan aparatur membuat laporan tentang hasil dan rencana kerja secara berkala, pembagian tugas ini harus diiringi dengan sanksi dan penghargaan (reward). Dalam pembagian tugas-tugas itu seharusnya dibuat secara tertulis sesuai dengan Tupoksi masing-masing unit kerja yang dilengkapi dengan prosedur atau alur kerja dari setiap bagian sampai kepada personel yang terlibat dalam melakukan setiap kegiatan.
Namun hal ini tidaklah mudah dapat dilakukan oleh semua kepala unit kerja karena masih banyak faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja aparatur itu, misalnya faktor moral dan ekonomi atau rendahnya penghasilan. Meski tidak ada jaminan bahwa pendapatan ditingkatkan akan meningkatkan kinerja sebab yang paling sulit adalah mengubah kebiasaan sebagaimana sulitnya melakukan hal yang belum biasa.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81/1993 tersirat sendi-sendi pelayanan yang harus dicakup dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia, antara lain kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, serta ketepatan waktu. Melalui aturan baku tersebut, secara ideal pola pelayanan di Indonesia telah mendapatkan bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan 










 UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
 smua file word (doc) 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar