PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan
Irasionalisme
Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan
mendapatkan perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan,
ketika para analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan-keputusan dalam
organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli administrasi
publik dan organisasi bisnis. Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang
pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan seputar
‘model rasional’ dan ‘model inkremental’. Model rasional dipilih sebagai model
tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental
digambarkan sebagai model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam
pemerintahan. Kenyataan ini, pada dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya
untuk mengembangkan berbagai model pengambilan keputusan alternatif dalam
berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini diarahkan untuk
mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain – termasuk
model pengambilan-keputusan yang disebut ‘garbage-can’ – berfokus pada berbagai
elemen rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative
selain rasionalisme dan inkrementalisme.
Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk
bergerak lebih jauh lagi dari tiga model yang umum dipakai tersebut dan
mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih bernuansa terhadap berbagai proses
yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tujuan
dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab
ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan
dalam pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan
signifansi subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita
membicarakan siklus kebijakan.
BERBAGAI ISU KONSEPTUAL
Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap
pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini
dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi…Tahap
ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial
bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa
solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin
tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan
tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan
tentang yang paling baik.
Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap
pengambilan-keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan
bukanlah sebuah tahap yang berdiri sendiri, atau sebuah sinonim bagi
keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah tahap spesifik
yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan
tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana
diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah
masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa
pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah sebuah hal teknis, tetapi
secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan
kebijakan pulbik menciptakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, bahkan jika keputusan
yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status
quo.
Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun
tentang signifikansi, arah yang berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari
pengambilan keputusan publik. Untuk menangani isu-isu ini, berbagai teori telah
dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di pemerintahan
sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat.
Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka
juga memiliki beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian
selanjutnya dari tulisan ini.
Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor
kebijakan yang relevan semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses
kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan sejumlah besar aktor-aktor
negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor yang
relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat
yang menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan
kebijakan publik melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini
menyisihkan seluruh aktor non-negara, termasuk mereka yang berasal dari
level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan pejabat pemerintah
yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area
permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini.
Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam
pemerintahan modern derajat kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil
keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang mengatur jabatan-jabatan politik
dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan para pemegang
jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai
mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui
berbagai undang-undang dan regulasi. Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya
menentukan keputusan-keputusan apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan
maupun pejabat pemerintah, tetapi juga mengatur prosedur yang harus diikuti
untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh Allison dan
Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan
‘action-channels’ bagi para pengambil keputusan – seperangkat prosedur yang
teregularisasi untuk menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu. Aturan
dan SOP ini menjelaskan mengapa proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan
menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. Sementara aturan dan SOP ini
membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa diskresi yang cukup
besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian mereka
tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada.
Keputusan tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang
dianggap terbaik bervariasi sebagai hasil tarik menarik antara
pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil keputusan ini
beroperasi.
Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan
konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan
perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan
otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi,
sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif
untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk
masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus,
di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain,
tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan
birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang
berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa
tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari
cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir
konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat,
atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas
untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta
birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan
adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan
itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang
berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan
solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang
beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan
respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama
atau hampir sama.
Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan
untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki
perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak
digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental,
dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu.
Model-model Pengambilan Keputusan
Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik biasanya disebut dengan nama model rasional dan model
inkremental. Model yang pertama pada
dasarnya adalah sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di
arena publik, sementara model yang kedua adalah sebuah model politik yang
diaplikasikan dalam kebijakan publik. Model-model yang lain berusaha untuk
mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism dengan komposisi yang
berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan model-model yang
mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses
pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan
sebaai sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya
irasional) yang didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan
yang telah menjadi ritual.
Model Rasional
Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik
secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh
aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1.
Menentukan
sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.
Seluruh
alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.
Segala
konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan
kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.
Terakhir,
strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan
masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.
Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa
model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan
yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan
kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran
positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan
yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk
meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa
berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’
dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai
alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas
analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan
kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan
diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang
mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif
dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada
‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan
‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’.
Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional
berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku
organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa
ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry
Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika
Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya
tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick
mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan
terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan
bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian,
Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan
Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan
tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan
biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan.
Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini
mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan
memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari
setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini
disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru
terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera
bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil
keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan
mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain
itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi
dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai
menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’.
Mungkin salah satu kritik paling keras yang
diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan
behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang
pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat
dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak
memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni
dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan
kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi
yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan
alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di
antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah
secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua,
model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan
untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang
dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi
kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun
negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi
sulit untuk dilakukan. Karena opsi yang
sama bisa jadi UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
smua file word (doc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar