Kamis, 24 Oktober 2013

PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK



PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
Menembus Batas Rasionalisme, Inkrementalisme dan Irasionalisme

Tahap pengambilan keputusan dalam siklus kebijakan mendapatkan perhatian lebih dalam tahap awal pengembangan ilmu kebijakan, ketika para analis banyak meminjam dari berbagai model pengambilan-keputusan dalam organisasi yang kompleks, sebagaimana dikembangkan oleh para ahli administrasi publik dan organisasi bisnis. Pada pertengahan tahun 1960-an, diskusi tentang pengambilan-keputusan kebijakan publik berubah fokus ke perdebatan seputar ‘model rasional’ dan ‘model inkremental’. Model rasional dipilih sebagai model tentang bagaimana keputusan seharusnya diambil, sementara model inkremental digambarkan sebagai model yang secara aktual paling banyak dipraktekan dalam pemerintahan. Kenyataan ini, pada dekade 1970-an, memunculkan kuatnya upaya untuk mengembangkan berbagai model pengambilan keputusan alternatif dalam berbagai organisasi yang kompleks. Sebagian upaya ini diarahkan untuk mensintesiskan model rasional dan inkremental. Sebagian yang lain – termasuk model pengambilan-keputusan yang disebut ‘garbage-can’ – berfokus pada berbagai elemen rasional dari perilaku organisasional, demi mencapai model alternative selain rasionalisme dan inkrementalisme.
Hanya baru-baru ini saja mulai muncul upaya untuk bergerak lebih jauh lagi dari tiga model yang umum dipakai tersebut dan mengembangkan sebuah pemahaman yang lebih bernuansa terhadap berbagai proses yang kompleks terkait dengan pengambilan keputusan kebijakan publik. Tujuan dari bab ini adalah untuk membahas berbagai model yang ada dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan menelaah perkembangan terbaru di bidang ini. Bab ini akah diakhiri dengan menawarkan sebuah model alternatif pengambilan keputusan dalam pemerintahan, yang memperhitungkan permasalahan pembatasan kekuasaan dan signifansi subsistem kebijakan, yang sebelumnya telah dibahas ketika kita membicarakan siklus kebijakan.
BERBAGAI ISU KONSEPTUAL
Gary Brewer dan Peter DeLeon menggambarkan tahap pengambilan keputusan dalam kebijakan publik sebagai:
Pilihan berbagai alternatif kebijakan yang selama ini dimunculkan dan dampak yang mungkin muncul dalam masalah yang diestimasi…Tahap ini adalah tahap yang paling bersifat politis ketika berbagai solusi potensial bagi suatu masalah tertentu harus dimenangkan dan hanya satu atau beberapa solusi yang dipilih dan dipakai. Jelasnya, pilihan-pilihan yang paling mungkin tidak akan direalisasikan dan memutuskan untuk tidak memasukan alur tindakan tertentu adalah suatu bagian dari seleksi ketika akhirnya sampai pada keputusan tentang yang paling baik.
Definisi ini memberikan beberapa poin kunci tentang tahap pengambilan-keputusan dalam pembuatan kebijakan. Pertama, pengambilan keputusan bukanlah sebuah tahap yang berdiri sendiri, atau sebuah sinonim bagi keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, tetapi sebuah tahap spesifik yang berakar pada tahap-tahap sebelumnya dalam siklus kebijakan. Ini melibatkan tindakan memilih dari sejumlah kecil pilihan kebijakan alternatif, sebagaimana diidentifikasikan dalam proses formulasi kebijakan, untuk memecahkan sebuah masalah publik. Kedua, definisi ini menggarisbawahi poin bahwa pengambilan-keputusan dalam kebijakan publik bukanlah sebuah hal teknis, tetapi secara inheren adalah sebuah proses politik. Di sini diakui bahwa keputusan kebijakan pulbik menciptakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, bahkan jika keputusan yang diambil adalah keputusan untuk tidak melakukan apapun atau mempertahankan status quo.
Definisi Brewer dan DeLeon tidak mengatakan apapun tentang signifikansi, arah yang berpotensi untuk diambil, atau cakupan dari pengambilan keputusan publik. Untuk menangani isu-isu ini, berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana keputusan dibuat di pemerintahan sekaligus memberikan preskripsi tentang bagaimana seharusnya keputusan dibuat. Meskipun berbagai model ini memiliki perbedaan-perbedaan signifikan, mereka juga memiliki beberapa kesamaan. Inilah yang akan kita bahas di bagian selanjutnya dari tulisan ini.
Pertama, setiap model mengakui bahwa jumlah aktor kebijakan yang relevan semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses kebijakan. Dus, agenda-setting melibatkan sejumlah besar aktor-aktor negara dan masyarakat. Pada tahap formulasi kebijakan, jumlah aktor yang relevan tetap besar, tetapi hanya mencakup aktor-aktor negara dan masyarakat yang menjadi bagian dari subsistem kebijakan. Tahap pengambilan keputusan kebijakan publik melibatkan aktor yang lebih sedikit lagi, karena tahap ini menyisihkan seluruh aktor non-negara, termasuk mereka yang berasal dari level-level pemerintahan yang lain. Hanya para politisi dan pejabat pemerintah yang memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan otoritatif dalam area permasalahan yang berpartisipasi dalam tahap ini.
Kedua, berbagai model ini juga mengakui bahwa dalam pemerintahan modern derajat kebebasan yang dinikmati oleh para pengambil keputusan dibatasi oleh sejumlah aturan yang mengatur jabatan-jabatan politik dan administrative serta membatasi pilihan-pilihan tindakan para pemegang jabatan itu. Aturan-aturan ini mulai dari konstitusi negara bersangkutan sampai mandate spesifik yang ditujukan pada individu pengambil keputusan melalui berbagai undang-undang dan regulasi. Aturan-aturan itu biasanya tidak hanya menentukan keputusan-keputusan apa yang mungkin untuk diambil oleh keagenan maupun pejabat pemerintah, tetapi juga mengatur prosedur yang harus diikuti untuk sampai pada keputusan itu. Seperti telah dicatat oleh Allison dan Halperin, berbagai aturan dan prosedur operasional itu memberikan ‘action-channels’ bagi para pengambil keputusan – seperangkat prosedur yang teregularisasi untuk menghasilkan tipe-tipe keputusan tertentu.   Aturan dan SOP ini menjelaskan mengapa proses pengambilan keputusan dalam pemerintahan menjadi begitu bersifat rutin dan repetitif. Sementara aturan dan SOP ini membatasi kebebasan para pengambil-keputusan, masih tersisa diskresi yang cukup besar pada individu pengambil keputusan untuk sampai pada penilaian mereka tentang cara yang terbaik untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada. Keputusan tentang proses apa yang terjadi selanjutnya dan keputusan apa yang dianggap terbaik bervariasi sebagai hasil tarik menarik antara pengambil-keputusan dan konteks di mana para pengambil keputusan ini beroperasi.   
Pada level makro, berbagai negara memiliki tatanan konstitusional dan aturan tentang struktur keagenan pemerintah serta aturan perilaku pejabat yang berbeda-beda. Sebagai sistem politik mengkonsentrasikan otoritas pengambilan keputusan pada lembaga eksektuif yang dipilih dan birokrasi, sementara sebagian yang lain memungkinkan lembaga legislatif dan judikatif untuk memainkan peran yang lebih besar. Sistem parlementer cenderung untuk masuk pada kategori yang pertama dan sistem presidensiil pada yang kedua. Dus, di Australia, Inggris, Kanada dan negara-negara demokrasi parlementer lain, tanggungjawab pengambilan keputusan terletak semata-mata di pundak kabinet dan birokrasi. Mungkin ada saatnya ada keputusan yang harus mereka terima, yang berasal dari legislative, terutama pada situasi ketika pemerintah yang berkuasa tidak menikmati sebuah mayoritas di parlemen. Bisa juga aturan itu datang dari cabang yudikatif, ketika lembaga ini menjalankan perannya sebagai penafsir konstitusi, tetapi hal seperti ini tidak rutin terjadi. Di Amerika Serikat, atau di negara-negara lain yang menganut sistem presidensiil, meskipun otoritas untuk untuk mengambil keputusan ada di tangan Presiden (dan kabinet serta birokrasi yang bertindak mewakili presiden), tetapi itu semua mensyaratkan adanya persetujuan dari legislatif. Pada level mikro, para pengambil keputusan itu sendiri juga berasal dari latar belakang, pengetahuan, dan pilihan yang berbeda-beda yang mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan suatu masalah dan solusi yang tepat untuk masalah tersebut. Pengambil keputusan yang berbeda yang beroperasi dalam tatanan institusional yang hampir serupa akan memberikan respon yang berbeda ketika dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang sama atau hampir sama.
Di balik area kesamaan dari berbagai model yang dikembangkan untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan , model-model itu juga memiliki perbedaan yang signifikan antara satu dengan lainnya. Model yang paling banyak digunakan dalam analisa terhadap tahap ini adalah model Rasional, Inkremental, dan Garbage Con. Kita akan membahasnya satu-persatu.
Model-model Pengambilan Keputusan
Dua model yang paling dikenal dalam pengambilan keputusan kebijakan publik biasanya disebut dengan nama model rasional dan model inkremental.  Model yang pertama pada dasarnya adalah sebuah model pengambilan keputusan bisnis yang diaplikasikan di arena publik, sementara model yang kedua adalah sebuah model politik yang diaplikasikan dalam kebijakan publik. Model-model yang lain berusaha untuk mengkombinasikan rasionalitas dan inkrementalism dengan komposisi yang berbeda-beda untuk tiap model. Sebaliknya, berbeda dengan model-model yang mengakui adanya rasionalitas; meskipun derajatnya berbeda-beda; dalam proses pengambilan keputusan, model garbage can memotret proses pengambilan keputusan sebaai sebuah proses yang pada dasarnya tidak rasional (tetapi tidak sepenuhnya irasional) yang didasarkan pada kepantasan dan perilaku pengambilan-keputusan yang telah menjadi ritual.
Model Rasional
Sebuah model ideal pengambilan keputusan kebijakan publik secara rasional terdiri dari ‘seorang individu rasional’ yang menempuh aktifitas-aktifitas berikut ini secara berurutan:
1.      Menentukan sebuah tujuan untuk memecahkan sebuah masalah
2.      Seluruh alternatif strategi untuk mencapai tujuan itu dieksplorasi dan didaftar
3.      Segala konsekuensi yang signifikan untuk setiap alternatif diperkirakan dan kemungkinan munculnya setiap konsekuensi diperhitungkan.
4.      Terakhir, strategi yang paling dekat dengan pemecahan masalah atau bisa memecahkan masalah dengan biaya paling rendah dipilih berdasarkan kalkulasi tersebut.
Model rasional adalah ‘rasional’ daam pengertian bahwa model tersebut memberikan preskripsi berbagai prosedur pengambilan keputusan yang akan menghasilkan pilihan cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan kebijakan. Teori-teori rasionalis berakar dalam aliran-aliran pemikiran positifisme dan rasionalisme jaman pencerahan  yang berusaha untuk mengembangkan pengetahuan yang ilmiah untuk meningkatkan kondisi hidup manusia. Ide-ide ini didasarkan pada keyakinan bahwa berbagai permasalahan sosial seharusnya diselesaikan melalui cara yang ‘ilmiah’ dan ‘rasional’, melalui pengumpulan segala informasi yang relevan dan berbagai alternatif solusi, dan kemudian memilih alternatif yang dianggap terbaik. Tugas analis kebijakan, di sini, adalah mengembangkan pengetahuan yang relevan dan kemudian menawarkannya pada pemerintah untuk diaplikasikan. Pembuat kebijakan diasumsikan sebagai untuk bekerja sebagai teknisi atau manajer bisnis, yang mengidentifikasi suatu masalah dan kemudian mengadopsi cara yang paling efektif dan efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Karena berorientasi pada ‘pemecahan masalah’ maka pendekatan ini sering juga disebut sebagai pendekatan ‘ilmiah’, ‘rekayasa’ atau ‘manajerialis’.
Dalam studi tentang pengambilan keputusan, model rasional berakar pada usaha awal untuk membangun sebuah disiplin ilmu tentang perilaku organisasi dan administrasi publik. Berbagai elemen dari model ini bisa ditemukan pada karya-karya para ahli administrasi publik awal seperti Henry Fayol di Perancis dan Luther Gulick serta Lyndal Urwick di Inggris dan Amerika Serikat. Dengan menjadikan ide yang dikemukakan oleh Fayol dalam dalam studinya tentang industri batu bara di Prancis menjelang abad XX, Gulick and Urwick mengkodifikasikan sebuah model yang mereka daku sebagai keputusan-keputusan terbaik yang bisa diambil. Model PODSCORB yang mereka kembangkan menyiratkan bahwa organisasi bisa memaksimalkan kinerja mereka melalui Perencanaan, Pengorganisasian, Pengambilan Keputusan, Penentuan Pilihan, Pengkoordinasian, Perekrutan dan Penganggaran yang terencana. “Pengambilan keputusan’ atas suatu tindakan tertentu, bagi Gulick dan Urwick, berarti menimbang antara keuntungan dengan biaya yang diperkirakan harus dikeluarkan.
Kemudian, para analist yang mengusung perspektif ini mulai beargumen bahwa bentuk pengambilan keputusan seperti ini hanya akan memberikan hasil maksimal jika seluruh alternatif yang mungkin dan biaya dari setiap alternatif dipertimbangkan sebelum sebuah keputusan diambil – ini disebut model pengambilan keputusan ‘rational comprehensive’. Penekanan baru terhadap aspek komprehensif terbukti problematic, dan kritik segera bermunculan. Ada batasan-batasan manusiawi yang dimiliki oleh para pengambil keputusan untuk bisa komprehensif dalam membangun berbagai alternatif dan mengkalkulasikan keuntungan dan beban yang ditimbulkan tiap alternatif. Selain itu ada pula batasan politik dan institusional yang membatasi penseleksian opsi dan pilihan-pilihan keputusan. Model rasional-komprehensif dikritik sebagai menyesatkan, bahkan ada yang menganggapnya mendekati ‘sesat’.
Mungkin salah satu kritik paling keras yang diarahkan pada model rasional adalah kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan behavioral Amerika, Herbert Simon, satu-satunya ahli administrasi publik yang pernah mendapatkan hadiah Nobel. Bermula di awal dekade 1950-an, ia berpendapat dalam serangkaian buku dan artikel bahwa ada beberapa hambatan yang tidak memungkinkan para pengambil keputusan untuk mencapai rasionalitas yang murni dan komprehensif dalam keputusan-keputusan mereka. Pertama, ada batasan-batasan kognitif pada kemampuan pengambil keputusan untuk mempertimbangkan seluruh opsi yang ada, sehingga mereka terpaksa bertindak selektif dalam mempertimbangkan alternatif-alternatif tersebut. Jika demikian, maka nampaknya mereka memilih di antara opsi yang ada berdasarkan landasan ideologi atau politik, atau malah secara acak, tanpa merujuk dampak dari pilihan mereka terhadap efisiensi. Kedua, model ini mengasumsikan bahwa adalah mungkin bagi para pengambil keputusan untuk mengetahui konsekuensi dari setiap keputusan yang mereka ambil, yang dalam kenyataannya kasus seperti ini sangat jarang terjadi. Ketiga, setiap opsi kebijakan diikuti oleh berbagai konsekuensi, baik yang bersifat positif maupun negative, yang menjadikan upaya komparasi berbagai konsekuensi tersebut menjadi sulit untuk dilakukan.  Karena opsi yang sama bisa jadi 






 UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
 smua file word (doc) 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar