Senin, 30 September 2013

Makalah PERMASALAHAN PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Menurut wadah yang menyelenggarakan pendidikan, pendidikan dapat dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan nonformal.
Pendidikan formal adalah segala bentuk pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan berjenjang, baik bersifat umum maupun bersifat khusus. Contohnya adalah pendidikan SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi negeri ataupun swasta. Pendidikan Informal dalah jenis pendidikan atau pelatihan yang terdapat di dalam keluarga atau masyarkat yang diselenggarakan tanpa ada organisasi tertentu(bukan organisasi). Pendidkan nonformal adalah segala bentuk pendidikan yan diberikan secara terorganisasi tetapi diluar wadah pendidikan formal.
Pada makalah ini, akan dikaji hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan formal yang diselenggarakan di Indonesia.
Pada dasarnya setiap kegiatan yang dilakukan akan menimbulkan dua macam dampak yang saling bertentangan. Kedua dampak itu adalah dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif adalah segala sesuatu yang merupakan harapan  dari pelaksanaan kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat disebut sebagai ’Tujuan’. Sedangkan dampak negatif adalah segala sesuatu yang bukan merupakan harapan dalam pelaksanaan kegitan tersebut, sehingga dapat disebut sebagai hambatan atau masalah yang ditimbulkan.
Jika peristiwa di atas dihubungkan dengan pendidikan, maka pelaksanaan pendidikan akan menimbulkan dampak negatif yang disebut sebagai masalah dan hambatan yang akan dihadapi. Hal ini akan lebih tepat bila disebut sebagai permasalahan Pendidikan.
Istilah permasalahan pendidikan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata permasalahan berarti sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah segala-sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Permasalahan Pendidikan Indonesia adalah segala macam bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program pendidikan di negara Indonesia. Seperti yang diketahui dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1993 dijelaskan bahwa program utama pengembangan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut.
  1. Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
  2. Peningkatan mutu pendidikan
  3. Peningkatan relevansi pendidikan
  4. Peningkatan Efisiensi dan efektifitas pendidikan
  5. Pengembangan kebudayaan
  6. Pembinaan generasi muda

Adapun masalah yang dipandang sangat rumit dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut.
  1. Pemerataan
  2. Mutu dan Relevansi
  3. Efisiensi dan efektivitas
Setiap masalah yang dihadapi disebabkan oleh faktor-faktor pendukungnya adapun faktor-faktor yang menyebabkan berkembangnya 4 masalah di atas adalah sebagai berikut.

    1. Ilmu Pengeahuan dan Teknologi (IPTEK)
    2. Laju Pertumbuhan penduduk
    3. Kelemahan guru/dosen (tenaga pengajar) dalam menangani tugas yang dihadapinya, dan ketidakfokusan peserta didik dalam menjalani proses pendidikan (Permasalahan Pembelajaran).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
a.                 Memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah Pengantar Pendidikan Universitas Negeri Padang.
b.                 Sebagai bentuk perhatian Mahasiswa terhadap masalah pendidikan yang dihadapi Indonesia.
c.                 Suatu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
d.                Membantu dalam membahas dan menanggulangi masalah yang dihadapi di dalam dunia pendidikan.

1.3 Rumusan Masalah
Permasalahan pendidikan adalah suatu masalah yang sangat komplek. Apabila ditelaah lebih jauh, maka kita akan menemukan sekumpulan hal-hal rumit yang sangat susah untuk disiasati. Masalah yang dihadapi tersebut akan lebih susah jika saling berkait satu sama lain.
Oleh sebab itu, di dalam makalah ini penulis akan memberikan gambaran penting mengenai kumpulan masalah-masalah yang akan di bahas dalam makalah ini. Berikut ini adalah bagan mengenai masalah-masalah yang akan dibahas.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Berikut ini kan dijabarkan mengenai manfaat-manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini.
a.       Membangun kualitas pendidikan kearah yang lebih baik.
b.      Menelaah masalah-masalah pendidikan yang dihadapi.
c.       Memberikan inovasi baru dalam menghadapi masalah pendidikan
d.      Batu loncatan kepada pendidikan yang lebih baik.
e.       Membangun cara belajar yang lebih efektif.
Demikianlah manfaat-manfaat yang dapat diambil dari pembutaan makalah ini.



BAB II
PERMASALAHAN PENDIDIKAN


2.1 Masalah Pokok Pendidikan
Permasalahan pendidikan merupakan suatu kendala yang menghalangi tercapainya tujuan pendidikan. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal yang merupakan permasalahan pendidikan di Indonesia. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Pemerataan Pendidikan
2.      Mutu dan Relevansi Pendidikan
3.      Efisiensi dan Efektifitas Pendidikan
Berikut ini adalah penjelasan-penjelasan mengenai 3 poin permasalahan pendidikan di atas.
2.1.1 Pemerataan Pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama. Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah  pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan. Pemerataan dan perluasan pendidikan atau biasa disebut perluasan keempatan belajar merupakan salah satu sasaran dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang mempunyai kesempatan yang sama unutk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dapat dibedakan menurut  jenis kelamin, status sosial, agama, amupun letak lokasi geografis.
Dalam propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
“Mengupayakan perluasan dan pemeraatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peninggakatan anggaran pendidikan secara berarti“. Dan pada salah satu tujuan pelaksanaan pendidikan Indonesia adalah untuk  pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara.
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa Pemerataan Pendidikan merupakan tujuan pokok yang akan diwujudkan. Jika tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka pelaksanaan pendidikan belum dapat dikatakan berhasil. Hal inilah yang menyebabkan masalah pemerataan pendidikan sebagai suatu masalah yang paling rumit untuk ditanggulangi. 









Usulan Pemilu Bupati/Walikota Dilakukan DPRD, Perlu Pertimbangan Serius



Pengamat politik dari UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Partaonan Daulay mengingatkan, usulan Pemilu bupati/walikota dilakukan oleh DPRD atau secara langsung, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan secara serius.

Pasalnya menurut Saleh, dari dua pilihan yang ada, masing-masing memiliki plus dan minus tersendiri. Dia menjelaskan, jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, yang paling banyak diuntungkan adalah partai-partai besar yang memiliki perwakilan yang banyak di DPRD.

"Karena suara mereka besar, maka mereka lah yang paling memungkinkan memenangkan setiap pemilihan," kata Saleh melalui siaran pers-nya yang diterima oleh wartawan di Jakarta, Sabtu (21/9) kemarin.

Selain itu, keuntungan jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, katanya adalah bisa mengurangi 'cost politic' yang cukup besar. Serta tidak menelan waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Sengketa Pilkada pun akan turun drastis, dan tugas Mahkamah Konstitusi (MK) pun jadi ringan.

"Dan jika pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, siapa pun memiliki kemungkinan dan potensi untuk menjadi kepala daerah. Bukan hanya kandidat dari partai-partai kecil, mereka yang bukan pengurus parpol pun bisa menempuh jalur independen," katanya.

Namun kelemahannya, jelas Saleh, sistem ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Selain untuk biaya penyelenggaraannya, 'political cost' yang harus dikeluarkan oleh kandidat juga sangat besar. Sebab mereka perlu menyiapkan anggaran untuk segala hal.

"Seperti atribut, kampanye, dan kegiatan sosial lain. Bahkan, tidak jarang para kandidat juga harus membayar langsung para pemilih agar bisa memenangkan pertarungan," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah ini.

Berdasarkan alasan di atas, Saleh menilai bahwa sepertinya pemilihan langsung untuk bupati/walikota belum tepat untuk dilakukan pada saat ini. Persoalan utama yang sesungguhnya, katanya, terlihat pada tingkat pendidikan masyarakat.

Sebab semua anggota masyarakat, dinilai belum bisa menggunakan hak pilihnya berdasarkan pilihan rasional dan bertanggung jawab. Sebagian besar di antara mereka, hanya menggunakan hak pilihnya karena emosional-temporal yang sarat dengan muatan pragmatisme.

"Tidak aneh, jika seseorang bisa secara langsung berpindah pilihan, hanya karena dibayar Rp50 ribu oleh seorang kandidat. Bagi pemilih, jumlah uang sebesar itu memang boleh dikatakan tergolong kecil," kata dia.

Namun dia mengingatkan, bagi kandidat jumlah itu sangat besar, karena harus dikalikan dengan jumlah pemilih. "Saya khawatir, setelah terpilih dia akan berusaha mengembalikan modal itu dengan berbagai cara, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai kepala daerah," katanya.

Untuk diketahui, dalam pembahasan RUU Pilkada di parlemen, pihak pemerintah semula mengusulkan agar bupati/walikota dipilih melalui pemilu. Namun pemerintah telah berubah pikiran, dimana mereka kini menginginkan agar bupati/walikota dipilih oleh DPRD.

Tujuh fraksi di DPR berpandangan semua kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih melalui pemilu. Sedangkan tiga fraksi mendukung usul pemerintah, sebab pemilihan bupati/walikota oleh DPRD diyakini dapat menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat.

Selain itu Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta instansi pemerintah lainnya tidak akan terlalu banyak menghabiskan energi untuk mengawasi dan memantau jalannya Pilkada di 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.


 sumber : http://skalanews.com/berita/detail/155118/Usulan-Pemilu-BupatiWalikota-Dilakukan-DPRD-Perlu-Pertimbangan-Serius


Jumat, 27 September 2013

Perilaku dan Pengembangan Organisasi Kultur Organisasi



Kultur Organisasi Google
Dua pendiri Google Larry Pagedan Sergey Brim mengembangkan gagasan untuk perusahaan mereka di kamar asrama mereka di Standford University. Saat ini, Google merupakan mesin pencari terbesar di dunia. Penggunanya, yang berjumlah 82 juta orang perbulan, memiliki akses ke lebih dari 8 juta halaman Web. Lebih dari 50 persen lalu lintas Google terjadi di luar Amerika Serikat. (Sekedar catatan, googol adalah istilah matematis untuk angka 1 yang diikuti 100 angka nol.)
            Meskipun tumbuh pesat, Google masih mempertahankan cara kerja seperti perusahaan kecil. Di kantor Googleplex di Mountain View, California,“Googlers (julukan karyawan Google penerj). Makan di café google yang lebih dikenal dengan sebutan “Charlie’s Place”. Topik pembicaraan mereka berkisar dari yang hal yang remeh sampai yang bersifat teknis dan entah bahan diskusinya menyangkut permainan komputeratau enskripsi atau peranti lunak penyaji iklan, bukan hal yang aneh untuk mendengar seseorang berkata, “itu produk yang saya bantu kembangkan sebelum saya ke Google.”
            Kultur Google sangat informal. Googlers bekerja secara berkelompok di tempat yang sangat padat, dengan tiga atau empat staff berbagi tempat dengan sofa dan anjing. Hierarki korparat hampir tidak kelihatan dan karyawan mengenakan pakaian yang tidak seragam. Webmaster internasional yang menciptakan logo liburan Google menghabiskan waktu seminggu untuk menerjemahkan seluruh situs ke dalam bahasa koreakepala mekanik operasinya juga seorang ahli bedah syaraf berlisensi.
Kebijakan perekrutan google lebih menekankan kemampuan daripada staf yang mencerminkan audiens  global yang dilayani oleh mesin pencari tersebut. Google memiliki kantor-kantor di seluruh dunia dan pusat-pusat rekayasa Google merekrut calon-calon berbakat di berbagai lokasi mulai dari zurich sampai Bangalore. Lusinan bahasa digunakan oleh staf Goggle dari bahasa Turki sampai bahasa Telugu. Pada saat tidak bekerja, Googlers melakukan hobi mereka dari bersepeda lintas alam sampai mencicipi minuman anggur, dan terbang sampai ke bermain Frisbee (Merek cakram plastic yang dilempar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah permainan,penerj.). Reza Behforooz, seorang teknisi peranti lunak Google berkomentar, “Google memiliki lingkungan kerja yang sangat keren dan menyenangkan-dan kometmen yang kuat terhadap keunggulan teknis sehingga kami dapat membangun produk-produk terbaik guna membantu semua orang di seluruh dunia.”
Kultur Organisasi yang kuat sebagaimana dimiliki Google memberi arah kepada perusahaan tersebut.Hal ini juga mengarahkan para karyawan.Kultur organisasi yang kuat membantu mereka memahami “cara segala sesuatu dilakukan di sini”.Kultur yang kuat juga memberikan stabilitas bagi sebuah organisasi. Tetapi, bagi sebagian organisasi,kultur yang kuat bias menjadi hambatan besar untuk berubah. Di bab ini, kita akan melihat bahwa setiap organisasi memiliki sebuah kultur dan, bergantung pada kekuatannya, kultur itu dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi.

Institusionalisasi: Pelopor Kultur
Ide untuk memandang organisasi sebagai kultur----- di mana terdapat sebuah system makna yang dimiliki bersama oleh para anggotanya-----merupakan sebuah fenomena yang relative baru.Hingga pertrngahan 1980-an, organisasi, sebagaimana besarnya, dianggap sebagai sarana rasional untuk mengoordinasi dan mengendalikan sekelompok orang.Dulu, organisasi memiliki tingkatan-tingkatan vertical, berbagai departemen, hubungan kewenangan, dan sebagainya.Tetapi kini, organisasi lebih dari pada itu.Kini, organisasi juga memiliki kepribadian, suportif, inovatif ataupun konservatif. Kantor General Electric dan orang-orang berbeda dengan kantor dan orang-orang di General Mills. Havard dan MIT (Massachussettes Institute of Technology,penerj.) bergerak di dunia bisnis yang sama----pendidikan----dan hanya terpisah selebar Sungai Charles, tetapi masing-masing memiliki perasaan dan karakter yang unik melampaui karakteristik structural. Para ahli teori organisasi kini mengakui hal ini dengan mengenali peran penting yang dimainkan oleh kultur dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Namun, yang menarik, asal-usul kultur sebagai sebuah variable independen yang mempengaruhi sikap dan perilaku seorang karyawan dapat ditelusuri ke belakang lebih dari 50 tahun lalu ke gagasan tentang (institusionalisasi).
Ketika terlembagakan , suatu organisasi menjalani kehidupannya terbukti terpisa dari para pendirinya atau anggota-anggotanya. Ross perut mendirikan electronic Data system (EDS) pada awal 1960 an tetapi meninggalkannya pada tahun 1987 untuk mendirikan sebuah perusahaan baru, sony, Gillette, McDonalds, dan Disney adalah contoh-contoh organisasi yang tetap eksis melampaui kehidupan para pendiri mereka ataupun anggota mereka, siapapun ia.
Selain itu, begitu terlembagakan, sebuah organisasi menjadi bernilai bagi dirinya, tidak hanya untuk barang atau jasa yang diproduksinya.Organisasi mendapatkan mortalitasnya jika tujuan semulanya tidak lagi relevan, organisasi tidak keluar dari bisnis, tetapi justru meredefinisi dirinya. Contoh klasik adalah March of Dimes, semula organisasi ini di bentuk untuk mendanai perjuangan melawan polisi ketika polio secara eksternal sudah hilang sejak 1950-an, Maech of Dimes tidak gulung tikar, ia hanya mendenefisikan sasarannya sebagai penyandang dana riset untuk mengurangi cacat lahir dan menurunkan tingkat kematian bayi.
Institusionalisasi berooperasi untuk menghasilkan pemahaman yang sama antara anggota tentang apa yang semestinya dan secara fundamental, perilaku yang bermakna. Jadi ketika suatu organisasi menghadapi kemampuan institusional, cara berprilaku yang dapat diterima menjadi sangat jelas bagi anggota-anggotanya. Sebagaimana akan kita lihat,pada hakikatnya hal yang sama inilah yang dilakukan oleh kultur organisasi. Maka, pemahaman mengenai apa yang memnbentuk kultur organisasidan bagaimana kultur tersebut diciptakan, dipertahankan, dan dipelajari akan meningkatkan kemapuan kita untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku orang di tempat kerja.

Definisi
Kiranya ada kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi (organizational culture) mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang di anut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.  Penelitian menunjukan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi :
1.      Inovasi  dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan di dorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2.      Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3.      Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.      Orientasi orang. Sejauh mana keputusan keputusan manejemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut ats orang yang ada dalam organisasi.
5.      Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam tim ketimbang individu-individu
6.      Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai .
7.      Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

Kultur adalah suatu istilah deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu atau tidak, kultur organisasi adalah suatu istilah deskriptif. Ini penting karena hal ini membedakan konsep ini dari konsep kepuasan kerja.
            Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka: Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan Kerja berhubungan dengan bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, disangsikan lagi memiliki karakteristik yang saling tumpang tindih, harus ingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat deskriptif, sementara kepuasan kerja bersifat evaluatif.

Apakah Organisasi Memiliki Kultur yang Seragam?
Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi. Ini menjadi jelas manakala kita mendefinisikan kultur sebagai sebuah sistem makna bersama. Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dengan pengertian yang serupa.
Namun, pengakuan bahwa kultur organisasi memiliki pengertian yang sama tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Sebagian besar organisasi memiliki kultur dominan dan banyak subkultur. Sebuah kultur dominan (dominant culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang kultur sebuah organisasi, kita merujuk pada kultur dominannya. Inilah pandangan makro terhadap kultur yang memberikan kepribadian tersendiri pada sebuah organisasi. Subkultur (subculture) cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi oleh para anggota. Berbagai subkultur ini mungkin muncul di tingkat departemen dan disebabkan oleh faktor geografis. Departemen pembelian, misalnya, dapat memiliki sebuah subkultur yang memiliki sebuah subkultur yang dimiliki secara bersama-sama secara unik oleh anggota-anggota departemen itu. Subkultur itu mencakup nilai-nilai inti (core values) dari kultur dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik bagi anggota departemen pembelian. Demikian pula, sebuah kantor atau unit organisasi yang secara fisik terpisah dari kantor utama organisasi mungkin memiliki kepribadian yang berbeda. Lagi-lagi, nilai inti tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi untuk mencerminkan situasi unik dari unit terpisah itu.
            Jika organisasi tidak memiliki kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variable independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku yang semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek “makna bersama” dan kultur inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk membangun dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya, bahwa kultur Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan resiko. Dan selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan bahwa banyak organisasi juga memiliki berbagai subkultur yang tidak diragukan bias memengaruhi perilaku anggota-anggotanya.


Kultur Kuat versus Kultur Lemah
Membedakan kultur yang kuat dari kultur yang lemah menjadi semakin popular dewasa ini. Argumennya di sini adalah bahwa kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih berkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan.
Dalam kultur yang kuat (strong culture), nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat kultur tersebut. Selaras dengan definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi. Sebagai contoh, Nordstrom yang bermarkas di Seattle telah mengambangkan salah satu kultur layanan terkuat dalam industry ritel. Karyawan-karyawan Nrdstrom pasti tahu apa yang diharapkan dari mereka dan harapan ini memntuk perilaku mereka.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang  keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendurungan karyawan untuk meninggalkan organisasi.

Kultur versus Formalisasi
Kultur organisasi yang kuat meningkatkan konsistensi perilaku. Dalam pengertian ini, kita semestinya menyadari bahwa kultur yang kuat dapat bertindak sebagai pengganti formalisasi.
Di bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana aturan dan ketentuan formalisasi berfungsi mengatur perilaku karyawan. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan prediktabilitas, keteraturan dan konsistensi. Persoalan kita di sini adalah bahwa kultur yang kuat mampu mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Karena itu, kita bias memandang formalisasi dan kultur sebagai dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin kuat kultur sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan manajemen untuk menyusun dan menetapkan beragam aturan dan ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun perilaku karyawan. Tuntunan itu akan diinternalisasikan dalam diri karyawan ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut.

Kultur Organisasi versus Kultur Nasional
Di sepanjang buku ini, kita memegang keyakinan bahwa perbedaan Negara---yaitu, kultur nasional-----harus diperhitungkan ketika kita mau membuat prediksi akurat mengenai perilaku organisasi di Negara yang berbeda. Tetapi, apakah kultur nasional berada di atas kultur sebuah organisasi? Apakah fasilitas IBM di Jerman, misalnya, lebih mungkin mencerminkan kultur etnis Jerman atau kultur korporat IBM?
Penelitian menunjukkan bahwa kultur nasional memiliki dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada kultur organisasi mereka. Karena itu, karyawan yang berkebangsaan Jerman di sebuah fasilitas milik IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh kultur Jerman daripada oleh kultur IBM. ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan mempengaruhi pembentukan perilaku karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih. Kesimpulan sebelumnyaharus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual yang muncul pada tahap perekrutan. Sebuah korporasi multinasional Inggris, misalnya, kiranya tidak terlalu khawatir ketika merekrut orang yang “tipikal Italia” untuk operasinya di Italia daripada merekrut seorang Italia yang sesuai dengan cara peruasahaan menjalankan segala sesuatu. Karenanya kita bisa berharap bahwa proses seleksi karyawan akan digunakan oleh perusahaan multinasional tersebut untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai dengan kultur dominan organisasi mereka, sekalipun pelamar seperti ini agak atipikal (tidak lazim) untuk anggota negara mereka.

Fungsi-fungsi Kultur
            Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Pertama, kultur berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, kultur memuat rasa identitas anggota organisasi. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial. Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
            Peran kultur dalam mempengaruhi perilaku karyawan menjadi semakin penting di tempat kerja saat ini. Tatkala organisasi terus memperluas rentang kendali, meratakan struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan bahwa setiap orang dituntun ke arah yang sama.
            Siapa yang diterima untuk bergabung dalam organisasi, yang dinilai sebagai karyawan berkinerja tinggi, dan yang mendapat promosi sangat dipengaruhi oleh “ketaatan” individu-organisasi. Artinya, apakah sikap dan perilaku pelamar atau karyawan cocok dengan kultur yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah yang memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan yang dapat mendukung citra itu. Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang kuat, yang didukung oleh aturan dan ktentuan formal yang ada, memastikan bahwa karyawan di taman hiburan Disney akan bertindak dengan cara yang relative seragam dan dapat diprediksi.

Kultur sebagai Beban
Kami tidak mengatakan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekedar mengatakan bahwa kultur itu ada. Banyak dari fungsinya, seperti telah diuraikan, sangat bernilai baik bagi organisasi maupun karyawan. kultur mempertinggi komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawan. Ini jelas merupakan keuntungan bagi organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur bernilai karena mengurangi ambiguitas. Kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Tetapi, kita tidak boleh mengabaikan aspek-aspek kultur yang berpotensi disfungsional, terutama aspek yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi.
Hambatan untuk Perubahan. Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling munglcin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis. Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat), kultur yang sudah kuat mengakar dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku menjadi aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan mempersulit organisasi untuk menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan. Hal ini membantu menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi para eksekutif di organisasi-organisasi seperti Mitsubishi, Easfman Kodak, Boeing, dan Biro Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Inuestigation-FBl) AS belakangan ini dalam menyesuaikan diri dengan-dinamika lingkungan mereka. Organisasi-organisasi ini memiliki kultur kuat yang berhasil di masa silam. Tetapi, kultur-kultur yang kuat ini menjadi hambatan untuk berubah ketika “bisnis sebagaimana biasanya” tidak lagi efektif.
Hambatan bagi Keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru tersebut menerima nilai-nilai inti dari kultur organisasi. Jika tidak, karyawan-karyawan ini tidak mungkin cocok atau diterima. Tetapi pada saat yang sama, manajemen ingin secara terbuka mengakui dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini ke tempat kerja.
Kultur yang kuat memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan diri. kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Dalam beberapa contoh, seperti kasus Texaco yang banyak dipublikasikan (yang diselesaikan atas nama 1.400 karyawan dengan uang ganti rugi senilai 1,76 juta dolar) di mana para manajer senior membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai kelompok minoritas, sebuah kultur yang kuat yang menghidup-hidupkan prasangka dapat memperlemah kebijakan formal keragaman korporat. Organisasi mencari dan merekrut individu yang berbeda-beda karena kekuatan alternatif yang mereka bawa ke tempat kerja. Namun, perilaku dan kekuatan yang beragam ini kiranya akan berkurang didalam kultur organisasi yang kuat karena orang mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang kuat bisa menjadi kendala manakala secara efektit meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan beragam latar belakang ke dalam organisasi. selain itu, kultur yang kuat juga bisa menjadi penghambat ketjka mendukung bias institusional atau tidak sensitif pada perbedaan orang.
Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor-faktor kunci yang diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas (kesesuaian) kultur juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari perusahaan yang akan diakuisisi, apakah akuisisi tersebut benar-benar akan berhasil tampaknya lebih terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut.
Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan' Sebuah survei oleh konsultan A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah kultur orgagisasi yang saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar, “Merger memiliki tingkat kegagalan yang saling tinggi, dan senantiasa disebabkan oleh persoalan manusia” Sebagai contoh, merger senilai 183 miliar dolar pada tahun 2001 antara America online (AOL) dari Time warner adalah yang terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut berubah menjadi bencana-hanya dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosot drastis sebesar 90 persen. Benturan kultur umumnyl dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya permasalahan di AoL Time warner' Sebalaimana dinyatakan seorang pakar. “Dalam beberapa hal' merger AOL dan Time Warner adalah seperti pernikahan seorang remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda. Di AoL, orang menggunakan baju santai dan jins. Time Warner lebih konservatif dalam hal pakaian.

Menciptakan dan Mempertahankan Kultur
Kultur sebuah organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah terhapuskan. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur? Apa yang memperkuat dan menjaga kekuatan-kekuatan kultur ini begitu hal ini mapan? Kita akan menemukan jawaban atas kedua pertanyaan ini di bagian berikutnya.

Mempertahankan Kelangsungan Hidup Kultur
Ketika suatu kultur sudah terbentuk, dibutuhkan praktik-praktik di dalam organisasi yang berfungsi memeliharanya dengan cara membuat karyawan memiliki pengalaman yang sama. Sebagai contoh  banyak praktik pengembangan sumber daya manusia yang akan kita bahas di bab selanjutnya merupakan upaya terkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria evaluasi kinerja kegiatan pelatihan dan pengembangan dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang direkrut  sesuai dengan kultur yang ada memberi imbalan mereka yang  yang mendukungnya dan memberi sanksi. (dan bahkan mendepak) mereka yang menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan peran sangat penting dalam  mempertahankan sebuah kultur ; praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita amati masing-masing secara lebih seksama.
Seleksi, tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut individu-individu yang memiliki pengetahuan keterampilan dan kemampuan untuk berhasil menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal tersebut terjadi, naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan akhir mengenai siapa yang direkrut akan banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan menyangkut seberapa cocok seorang calon dengan organisasi. Upaya untuk memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak, menghasilkan rekrutan yang memegang nilai-nilai yang pada intinya selaras dengan nilai-nilai organisasi, atau paling tidak beberapa bagian dari nilai-nilai itu.  Selain itu proses seleksi memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belalar tentang organisasi itu dan jika menemukan atau merasakan suatu pertentangan antara nilai-nilai mereka dan nilai-nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur. Karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan pelamar membatalkan sebuah “perkawinan” jika tampak adanya ketidakcocokan. Dengan cara demikian proses seleksi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah organisasi dengan cara mengeluarkan individu-individu yang mungkin tidak sesuai atau akan menggerogoti nilai-nilai intinya.
Sebagai contoh,  W.L. Gore & Associates, pembuat kain Gore-Tex yang digunakan untuk pakaian luar membanggakan kultur organisasinya yang ditandai oleh demokrasi dan kerja sama tim. Tidak ada nama jabatan di Gore dan tidak ada pula atasan ataupun rantai komando. Semua pekerjaan dilakukan dalam tim. Dalam proses seleksinya tim-tim karyawan mengharuskan pelamar kerja menjalani wawancara ekstensif untuk memastikan bahwa calon yang tidak dapat menghadapi tingkat ketidakpastian, fleksibilitas, dan kerja tim yang harus karyawan hadapi di pabrik-pabrik Gore akan terpental.


Manajemen puncak, tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak besar terhadap kultur organisasi. Melalui apa yang mereka katakana dan bagaimana mereka berperilaku, para eksekutif senior memantapkan norma-norma yang berlaku di organisasi terkait sejauh mana pengambilan resiko di harapkan, seberapa banyak kebebasan yang para manajer harus berikan pada karyawan mereka, pakaian apa yang pantas, tindakan apa yang akan membuahkan hasil yang berupa kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lain.
Sosialisasi adalah proses yang mengadaptasikan karyawan dengan kultur organisasi, tak peduli seberapa baik pekerjaan yang dilakukan organisasi dalam melakukan perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terindoktrinasi ke dalam kultur organisai. Karena belum mengenal betul kultur organisasi tersebut, para karyawan itu berpotensi mengganggu tradisi dan kebiasaan yang ada. Karena itu organisasi membantu para karyawan baru utuk beradaptasi dengan kulturnya. Proses adaptasi ini disebut sosialisasi. Saat kita berbicara tentang sosialisasi ingatlah bahwa tahapan sosialisasi yang paling kritis adalah pada saat masuk ke dalam organisasi. Pada saat inilah, organisasi berusaha mencetak orang luar menjadi seorang karyawan dengan reputasi baik. Karyawan yang gagal mempelajari perilaku yang esensial atau penting beresiko “nonkonformis” atau “pembangkang”, yang mungkin akan membuat tersingkir. Tetapi, organisasi akan melakukan sosialisasi kepada semua karyawan, walau mungkin tidak secara eksplisit. Disepanjang kariernya di organisasi tersebut, cara ini lebih jauh menyumbang untuk mempertahankan kultur. Sosialisasi dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tiga tahapan, yaitu : prakedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis. Tahap pertama mencakup semua pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Pada tahap kedua, karyawan baru melihat seperti apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa antara harapan dan kenyataan berbeda. Pada tahap ketiga, terjadi perubahan yang relative lama. Proses tiga tahap ini berdampak pada produktifitas kerja karyawan baru, komitmennya terhadap sasaran organisasi, dan keputusan akhirnya untuk tinggal bersama organisasi.
Tahap prakedatangan (prearrival stage) secara terbuka mengakui bahwa setiap individu dating dengan sekumpullan nilai, siakp, dan harapan tertentu. Hal ini mencakup pekerjaan yang akan dijalankan maupun organisasi. Sebagai contoh dalam banyak pekerjaan, terutama pekerjaan professional, anggota-anggota baru harus menjalani sosialisasi terlebih dahulu dalam pelatihan maupun di lembaga pendidikan.Salah satu tujuan pokok dari sekolah bisnis, misalanya adalah untuk mempekenalkan para mahasiswanya dengan sikap dan perilaku yang diinginkan perushaan. Jika para eksekutif bisnis yakin bahwa karyawan yanga baik adalah yang menghargai etika profit, loyal, sanggup bekerja keras, dan memiliki hasrat tinggi untuk berprestasi, mereka akan merekrut lulusan sekolah bisnis yang telah di bentuk sebelumnya dalam pola seperti ini. Salah satu hal penting dari masa praperekrutan dalam usaha sosialisasi adalah memeilih karyawan dengan “kepribadian yang pas”, dan menggunakan prose seleksi untuk memberi tahu calon karyawan tentang organisasi tersebut secara keseluruhan. Selain itu, sebagaimana dinyatakan di awal, proses seleksi juga berfungsi untuk memastikan masuknya jenis yang tepat yang kira-kira mereka sesuai dengan kemampuanya.

Tahap perjumpaan (encounter stage) di sini individu menghadapi kemungkinan dokotomi antara harapan menyangkut pekerjaan, rekan kerja, atasan, dan oarganisasi secara umum dan kenyataan.Jika harapan ternyata kurang lebih akurat, tahap perjumpaan ini sekedar memberikan penegasan kembali mengenai presepsi yang telah diperoleh sebelumnya.Namun yang terjadi sering kali tidak demikian. Bilamana harapan dan kenyataan berbeda, karyawan baru harus menjalani sosialisasi untuk melepaskan berbagai asumsi yang sebelumnya ia pegang dan menggantikannya dengan sumsi-asumsi lain yang di pandang tepat oleh organisasi. Seleksi yang benar semestinya memperkecil kemungkinan terjadinya pengunduran diri sampai semaksimal mungkin.Para pendatang baru memiliki komitmen lebih besar terhadap organisasi manakala mereka memiliki jaringan pertemanan yang besar dan beragam.
Tahap metamorfosis (metamorphosis stage) seleksi secara cermat oleh manajemen  terhadap pengalaman sosialisasi para pendatang baru dapat secara ekstrim menciptakan kelompok konformis yang memepertahankan tradisi dan adat, atau kelompok individualis inventif dan kreatif yang menganggap tidak ada praktik organisasi yang sakral. Kita dapat mengatakan bahwa proses metamorfosis dan sosialisasi berhasil ketika anggota baru sudah merasa nyaman dengan organisasi dan pekerjaan mereka. Mereka telah menginternalisasi berbagai norma organisasi dan kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima norma-norma tersebut. Anggota baru tersebut merasa di terima oleh rekan sejawat mereka sebagai individu yang dapat dipercaya dan layak dihargai. Mereka percaya diri bahwa mereka memiliki kompetensi untuk merampungkan pekerjaan dan mereka memahami sistem tidak hanya tugas mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-praktik yang diterima secara informal. Akhirnya mereka tahu bagaimana mereka akan dievaluasi, artinya kriteria apa yang digunakan untuk mengukur dan menilai pekerjaan mereka. Metamorfosis yang berhasil akan berdampak positif terhadap produktifitas karyawan baru dan komitmen mereka terhadap organisasi serta mengurangi kecenderungan mereka untuk meninggalkan organisasi.

Ritual
Ritual (rituals) adalah serangkaian aktivitas berulang yang mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai dasar dari organisasi sasaran apa yang terpenting, orang mana yang penting, dan orang mana yang bisa dikeluarkan. Salah satu ritual perusahaan yang terkenal adalah nyanyian perusahaan Wal-Mart. Diawali oleh pendirinya, Sam Walton, sebagai cara untuk memotivasi dan menyatukan para pekerjanya, “Gimme a W, gimme an L, gimme a squigle, gimme an M, A, R, T!” telah menjadi ritual perusahaan yang mempersatukan karyawan Wai-Mart dan memperkuat keyakinan Sam Walton terhadap pentingnya karyawan bagi kesuksesan perusahaannya. Nyanyian serupa digunakan oleh IBM, Ericson, Novell, Deutsche Bank, dan Pricewaterhouse-Coopers.

Bahasa
Banyak organisasi dan unit dalam suatu organisasi menggunakan bahasa sebagai  sarana untuk mengidentifikasi anggota dari sebuah kultur atau subkultur. Dengan mempelajari bahasa ini, para anggota menegaskan penerimaan mereka terhadap kultur dan, dengan demikian, membantu melestarikannya. Berikut ini contoh-contoh teknologi yang digunakan oleh para karyawan di Knight Ridder Information, sebuah redistributor data yang bermarks di Calivornia: accesoris number(nomor yang dipakai untuk tiap catatan individu dalam sebuah bisnis data); KWIC- Keywords-in-context (sekumpulan kata kunci dalam konteks) dan relational operator (mencari bisnis data untuk nama-nama atau istilah-istilah kunci dalam suatu urutan). Jika merupakan karyawan baru di Boeing, anda akan belajar banyak kosa kata khas perusahaan berupa akronim, termasuk BOLD-Boeing Online Data (data online boeing), CATIA- graphics-aided three (dimensional interactive application), aplikasi interaktif tiga dimensi dengan bantuan grafis computer),MAIDS-manufacturing assembly and installation data system (system data instalasi dan perakitan manufaktur), POP- purchased outside production (membeli produk dari luar), dan SLO-service level objectives (sasaran tingkat layanan).
Dari waktu ke waktu organisasi terus mengembangkan istilah-istilah khas untuk menggambarkan perlengkapan, kantor, personalia kunci, pemasok, pelanggan, atau produk yang terkait dengan bisnisnya. Karyawan baru sering kerepotan dengan berbagai akronim dan jargon yang setelah enam bulan bekerja sepenuhnya menjadi bagian dari bahasa mereka, begitu terasimilasi, istilah-istilah ini menjadi denominator umum/bersama yang menyatukan para anggota sebuah kultur atau subkultur tertentu.

Menciptakan Kultur Organisasi yang Etis
Isi dan kekuatan suatu kultur memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk mengambil risiko dan berani berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang dicapai.
Kultur organisasi yang kuat akan lebih memengaruhi karyawan dari pada kultur yang lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar etika yang tinggi,ia pasti akan berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Johnson dan Jhonson misalnya, memiliki kultur yang kuat yamg sudah lama menekankan kewajiban perusahaan kepada pelanggan, karyawan, masyarakat, dan para pemegang saham. Ketika Tylenol (sebuah produk Jhonson & Jhonson) yang mengandung racun di jumpai di rak-rak took, karyawan J & J diselur AS secara sadar dan suka rela menarik produk tersebut dari took bahkan sebelum manajemen mengeluarkan pernyataan menyangkut hal itu. Tak seorang pun memberi tahu orang-orang ini hal yang benar secara moral; mereka tahu apa yang diharapkan oleh J & J untuk mereka lakukan. Sebaliknya, kultur kuat yang mendorong sikap yang sangat agresif bisa menjadi factor yang dominan dalam membentuk perilaku tidak etis. Sebagai contoh, kultur agresif Enron, dengan tekanan yang tak henti-hentinya pada para eksekutif untuk meningkatkan pendapatan secara cepat, mendorong dilanggarnya nilai-nilai etis dan akhirnya berkontribusi terhadap runtuhnya perusahaan.
Apa yang dapat manajemen lakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis? Gabungan-gabungan dari praktik-praktik sebagai berikut;
·         Jadilah  model peran yang visible. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini member pesan positif bagi semua karyawan.
·         Komunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
·         Berikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar, lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilemma etika yang mungkin muncul.
·         Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup srana yang dipakai untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya,tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka atau nyata.
·         Berikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etikadan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.

Menciptakan Kultur  Tanggap Pelanggan
Para paritel Prancis memiliki reputasi untuk sikap masa bodohnya terhadap pelanggan. Para wiraniaga, misalnya, tak jarang secara jelas-jelas memberitahu para pelanggan bahwa percakapan telepon mereka tidak boleh disela. Meminta bantuan dari wiraniaga saja sudah bisa menimbulkan masalah. Dan tak seorang pun di Prancis yang terkejut kalau pemilik sebuah toko di Paris mengeluh bahwa ia tidak bisa menggarap buku-bukunya sepanjang pagi karena terus-menerus diganggu oleh pelanggan.
Sebagian besar organisasi saat ini mencoba keras untuk tidak seperti orang Prancis itu. Mereka berupaya menciptakan kultur yang tanggap pelanggan karena mereka tahu bahwa inilah jalan untuk mendapatkan loyalitas pelanggan dan profitabilitas jangka panjang. Banyak perusahaan yang mencoba menciptakan kultur semacam ini, seperti Southwest Airliners, Fedex, J & J, Nordstrom, Olive Garden, taman hiburan Walt Disney, Enterprise Rent-A-Car, Whole Foods, dan L.L. Bean telah membangun basis pelanggan yang kuat dan loyal pada umumnya mereka berhasil mengalahkan para pesaing mereka dalam pertumbuhan pendapatan dan kinerja keuangan. Di bagian ini, kita secara ringkas akan mengidentifikasi variable-variabel yang membentuk kultur tanggap pelanggan serta memberikan beberapa saran yang dapat dijalankan oleh manajemen untuk menciptakan kultur semacam ini.

Variabel-variabel Kunci yang Membentuk Kultur tanggap Pelanggan
Sebuah kajian menemukan bahwa beberapa variable secara rutin ditemukan dalam kultur-kultur yang tanggap pelanggan.                  
1.      Jenis karyawan itu sendiri
2.      Tingkat formalisasi yang rendah
3.      Penguatan sistem formalisasi yang luas
4.      Keterampilan mendengarkan yang baik
5.      Kejelasan peran
Ringkasnya kultur tanggap pelanggan merekrut karyawan-karyawan yang memiliki keterampilan mendengarkan yang baik dan kesediaan untuk mengatasi kendala-kendala pekerjaan mereka dan untuk melakukan apa yang diperlukan guna memuaskan palanggan.

Tindakan Manajerial
Ada beberapa tindakan yang diambil manajemen untuk membentuk karyawan yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan kemauan untuk memecahkan masalah pelanggan pada saat masalah itu muncul :
1.      Seleksi
Calon calon pekerja harus disaring sehingga orang orang yang direkrut memiliki kesabaran, kepedulian terhadap orang lain, keterampilan mendengarkan yang menyertai karyawan yang berorientasi pelanggan.

2.      Pelatihan dan Sosialisasi
Kandungan program pelatihan dan sosialisasi ini akan sangat bervariasi tetapi harus terfokus pada peningkatan pengetahuan akan produk, mendengarkan secara efektif, menunjukan kesabaran.
3.      Desain Struktur
Manajemen perlu membebaskan karyawan untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang senantiasa berubah.
4.      Pemberdayaan
Hal ini merupakan komponen wajib dari kultur tanggap pelanggan karena memungkinkan karyawan membuat keputusan seketika untuk memuaskan pelanggan.
5.      Kepemimpinan
Pemimpin yang efektif dalam kultur tanggap pelanggan memberikan dengan menyampaikan sebuah misi yang berfokus pada pelanggan dan yang memperlihatkan  dengan perilaku mereka bahwa mereka memiliki komitmen terhadap pelanggan.
6.      Evaluasi Kinerja
Evaluasi ini menilai karyawan berdasarkan bagaimana mereka berperilaku atau bertindak berdasarkan kriteria seperti upaya, komitmen, kerja tim, keramahan dan kemampuan memecahkan masalah pelanggan ketimbang berdasarkan hasil terukur yang mereka capai.
7.      Sistem Imbalan
Manajemen perlu memberikan penghargaan kepada karyawan yang menunjukan upaya luar biasa untuk menyenangkan pelanggan dan yang telah dipilih pelanggan atas layanan lebihnya.

Spiritualitas dan Kultur Organisasi
1.      Apa Spiritualitas itu?
Adalah menyadari bahwa manusia memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung dalam konteks komunitas.
2.      Mengapa Spiritualitas?
Model-model historis dari manajemen dan perilaku organisasi pada masa lalu tidak memiliki ruang bagi spiritualitas. Sebagaimana telah kita singgung dalam pembahasan tentang emosi di bab 8, mitos tentang rasionalitas beranggapan bahwa organisasi yang dijalankan dengan baik adalah yang menafikan perasaan. Demikian pula, kepedulian terhadap kehidupan batin karyawan tidak memiliki peran dalam model yang sepenuhnya rasional. Tetapi bila kita sekarang menyadari bahwa studi tentang emosi memperbaiki pemahaman kita terhadap perilaku organisasi, kesadaran akan spiritualitas dapat membantu Anda memahami perilaku karyawan pada abad ke-21 secara lebih baik.
Alasan Tumbuhnya Minat terhadap Spiritualitas:
·         Sebagai penyeimbang terhadap tekanan dan ketegangan dari dinamika kehidupan yang tidak beraturan.
·         Agama formal tidak lagi berfungsi untuk banyak orang serta mereka terus mencari “pelabuhan” yang dapat menggantikan ketiadaan iman dan mengisi rasa kehampaan yang muncul.
·         Tuntutan kerja telah membuat tempat kerja jadi dominan dalam kehidupan banyak orang, namun mereka terus mempertanyakan makna kerja itu sendiri.
·         Hasrat untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan pribadi dalam kehidupan profesional seseorang.
·         Semakin banyak orang yang menemukan bahwa mengejar sesuatu yang lebih bersifat material membuat mereka tidak puas.

Karakteristik sebuah Organisasi Spiritual
1.      Kesadaran akan tujuan yang kuat.
Organisasi spiritual mendasarkan kultur mereka pada suatu tujuan yang bermakna. Meskipun penting, laba bukanlah nilai utama organisasi.Orang dapat terilhami oleh tujuan yang mereka yakini penting dan bermakna.
2.      Fokus terhadap pengembangan individual.
Organisasi spiritual menyadari makna dan nilai setiap manusia.Mereka tidak hanya menyediakan pekerjaan. Mereka mencoba menciptakan kultur dimana karyawan dapat terus belajar dan tumbuh.
3.      Kepercayaan dan respek.
Organisasi spiritual dicirikan oleh tumbuhnya sikap saling percaya, jujur, dan terbuka.Para manajer tidak takut mengakui kesalahan. Presiden Wetherill Associates, sebuah perusahaan distribusi suku cadang mobil yang sangat sukses, mengatakan “Kami tidak berbohong disini dan setiap orang mengetahuinya. Kami spesifik dan jujur dengan kualitas dan kesesuaian produk dengan kebutuhan pelanggan kami, sekalipun kami tahu mereka mungkin tidak mampu mendeteksi masalahnya.”
4.      Praktik kerja yang manusiawi.
Praktik-praktik yang dianut oleh organisasi spiritual ini meliputi jadwal kerja yang fleksibel, imbalan berbasis kelompok dan oganisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan status, jaminan hak-hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan kerja.Hewlett-Packard, misalnya, telah menangani penurunan temporer melalui atrisi sukarela dan memperpendek minggu kerja (oleh semuanya), serta penurunan berjangka lebih lama melalui pensiun dini dan pengambilalihan (buyouts).
5.      Toleransi bagi ekspresi karyawan.
Organisasi spiritual tidak menekan sisi emosional karyawan.Mereka memberi ruang bagi karyawan untuk menjadi diri mereka sendiri - untuk mengutarakan suasana hati dan perasaan mereka.

Bagaimana Kultur Organisasi Berdampak terhadap Kinerja dan Kepuasan Karyawan


Bagan di atas mengilustrasikan kultur organisasi sebagai sebuah variabel sementara. Para karyawan membentuk persepsi subjektif  yang utuh tentang organisasi berdasarkan faktor-faktor seperti tingkat toleransi terhadap resiko, penekanan pada tim, dan dukungan orang. Persepsi ini, pada dasarnya, lalu menyusun kultur atau kepribadian organisasi. Persepsi-persepsi yang baik ataupun yang tidak selanjutnya mempengaruhi kinerja dan kepuasan karyawan, dengan dampak yang semakin besar dengan semakin kuatnya kultur.



DAFTAR PUSTAKA