Kamis, 24 Oktober 2013

PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PUBLIK



PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PUBLIK

Satu Model Kebijaksanaan Lingkungan
Jauh sebelum ada tindakan pemerintah, masalah lingkungan harus ditemu kenali, sesuatu yang biasanya muncul di masyarakat bawah. Kemudian masalah lingkungan ini dikomunikasikan kepada pemerintah.  Tujuannya adalah untuk mendapat bantuan pemerintah dengan jalan meyakinkan pejabat atau lembaga pemerintah yang berwenang agar supaya masalah tersebut dimasukkan pada agendanya.  Setelah itu, mulailah apa yang dikenal dengan tahap pengambilan keputusan, yakni satu proses yang meliputi penilaian kerusakan lingkungan pada masyarakat, menentukan tujuan, mengevaluasi kemungkinan pemecahannya, dan melaksanakan beberapa kebijakan.  Setelah kebijakan siap untuk dijalankan, muncullah kegiatan Monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah kebijakan yang dimaksud telah mampu mencapai tujuan.
Dalam praktek, satu kebijakan yang ditujukan untuk menangani masalah seperti kebersihan pantai di Bali, pembuangan/pengolahan sampah di Denpasar memerlukan waktu bertahun-tahun dari menemu kenali masalah sampai adanya tindakan pemerintah.  Oleh karena itu para ahli kebijakan publik mengembangkan satu model struktur pengembangan kebijakan publik masalah lingkungan yang lebih mudah dimengerti.  Model tersebut pada umumnya memuat:
  • Perumusan masalah
  • Agenda kebijakan
  • Formulasi kebijakan
  • Penetapan kebijakan
  • Pelaksanaan kebijakan
  • Evaluasi kebijakan.
Untuk memudahkan mengingat keenam tindakan di atas ini disingkat dan digabungkan menjadi tiga langkah saja, yakni:
1.      Perumusan masalah dan agenda kebijakan.
2.      Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan, yang meliputi kegiatan perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, dan pelaksanaannya.
3.      Evaluasi kebijakan.
Ad.1. Perumusan masalah lingkungan dan agenda kebijakan.  Identifikasi adanya masalah lingkungan dimulai dengan perumusan masalah, penemuan adanya dilema publik, yakni sesuatu yang mempunyai akibat terhadap beberapa kelompok masyarakat, bukan hanya mempengaruhi orang perorangan saja.  Kadang-kadang tanda-tanda permasalahannya sangat jelas, seperti misalnya limbah cair hotel yang dialirkan ke pantai Sanur, atau limbah zat pewarna perusahaan garmen di Kepaon yang dibuang ke sungai yang mengakibatkan orang merasa gatal-gatal kalau mereka mandi di pantai/sungai.  Dalam hal lain, masalahnya tidak begitu kentara sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menemukan kemungkinan telah terjadi masalah.  Dalam keadaan ini, apabila lingkungan dianggap sebagai penyebabnya, maka masyarakat kemungkinan besar minta bantuan pemerintah untuk mengidentifikasi sumber permasalahannya dan menemukan cara-cara untuk menanggulanginya.
Pemahaman masalah atau potensi kerusakan yang akan terjadi merupakan langkah awal yang penting.  Selanjutnya adalah masyarakat harus meyakinkan pejabat pemerintah bahwa permasalahannya cukup penting untuk dimasukkan pada agenda pemerintah daerah/pusat.  Dalam praktek, seseorang sangat sulit meyakinkan pemerintah.  Oleh karenanya, seseorang mungkin melalui kelompok masyarakat pemerhati lingkungan meminta perhatian pemerintah mengenai masalah lingkungan.
Kalau pejabat pemerintah telah menyadari dugaan adanya masalah lingkungan, mereka harus yakin bahwa setiap pertanyaan mengenai kerusakan lingkungan harus dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun demikian, sama sekali tidak ada jaminan bahwa masalah dimaksud akan dimasukkan pada agenda resmi. Ini disebabkan oleh karena pemerintah harus mempertimbangkan di antara banyak masalah yang paling parah atau mendesak untuk mendapatkan tindakan segera, atau terpaksa menundanya untuk ditangani di masa yang akan datang.  Evaluasi pemerintah akan pentingnya satu masalah publik beserta risikonya relatif terhadap yang lainnya memerlukan tidak hanya penilaian yang sistematik tetapi juga penilaian yang subyektif dan sering terdapat tekanan-tekanan politik.  Jadi proses formulasi kebijakan menuju agenda kebijakan bukanlah tanpa pengaruh faktor yang tidak jelas, meskipun pemerintah harus satu ketika merumuskan satu kebijakan yang tepat.

Ad.2.  Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan.  Dalam tahap formulasi kebijakan ada dua fungsi yang amat penting untuk diselesaikan.  Pertama, pemerintah harus secara resmi menilai parahnya permasalahan lingkungan dan risikonya terhadap masyarakat. Kegiatan ini disebut penilaian risiko.  Kedua, pemerintah harus mengembangkan satu kebijakan yang tepat, yang sebagian dari proses ini disebut manajemen risiko.   Mungkin keputusan yang paling penting dibuat  selama merumuskan kebijakan adalah menentukan apa yang harus diselesaikan melalui peraturan pemerintah.  Tujuan ini akan menentukan sifat dari kebijakan yang harus diambil.
Dalam keadaan yang ekstrem, tujuan dimaksud mungkin memberi hak untuk menyetop faktor penyebab pencemaran.  Misalnya, PCB (polychlorinated biphenyls) dan DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) ditengarai sebagai faktor pemicu kanker dan oleh karenanya pemakaian kedua jenis bahan kimia ini telah dilarang di seluruh dunia.  Kebijaksanaan yang keras seperti ini walaupun mungkin mengganggu kegiatan ekonomi, namun tetap harus dilaksanakan dengan tegas dan pasti.  Dalam hal ini tidak ada lagi kesempatan untuk kompromi dan tujuan menyelamatkan masyarakat dari kemungkinan menderita kanker harus dilaksanakan tanpa kompromi.
Kebanyakan masalah lingkungan hanya memerlukan satu kebijakan yang bervariasi dari keadaan status quo sampai  dengan pelarangan sepenuhnya seperti masalah PCB dan DDT.  Misalnya sekitar Maret 2008 kita di Indonesia dihebohkan oleh isu hasil penelitian Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang menyatakan beberapa merek susu formula yang telah beredar terkontaminasi dengan bakteri Enterobakter Sakazaki yang dapat menyebabkan radang pada otak, dan usus serta jaringan seluruh tubuh bayi yang mengonsumsi susu formula yang terkontaminasi tersebut secara terus menerus secara langsung. Argumentasi yang berkembang adalah bahwa susu formula tidak dikonsumsi langsung oleh bayi, melainkan harus dipanaskan terlebih dahulu dan dimasukkan dalam botol dot dan sebagainya. Di samping itu belum ada ketentuan yang pasti di Indonesia berapa kandungan bakteri entero bacter  sakazaki yang diperkenankan (dapat diterima oleh masyarakat).   Dalam keadaan seperti ini, pejabat dihadapkan kepada keputusan yang sulit dalam menentukan tingkat pencemaran yang dapat diterima.  Pertanyaannya adalah apa sesungguhnya tingkat pencemaran yang dapat diterima tersebut dan bagaimana hal semacam itu diperoleh?  Sebagaimana telah dibicarakan pada bab-bab terdahulu, teori ekonomi mikro memberi petunjuk bahwa kriteria untuk mendapatkan tingkat pencemaran yang ‘dapat diterima’ adalah kesejahteraan masyarakat yang maksimum atau istilah ekonominya adalah efisien alokatif.  Hal ini tercapai kalau semua pengeluaran tambahan (MSC) sama dengan semua manfaat tambahan (MSB) pengurangan polusi pada  susu formula tersebut.  Semua pengeluaran tambahan untuk mengurangi pencemaran enterobacter Sakasazi itu, seandainya pemerintah secara tegas mengambil kebijakan untuk menghilangkannya, terdiri dari dua komponen, yakni;
1.      biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan susu formula yang terkait  untuk mengurangi kontaminasi bakteri. Biaya ini disebut biaya marjinal pengurangan polusi dan diberi notasi MACi  (marginal abatement cost) untuk masing-masing perusahaan.  Biaya pengurangan polusi untuk semua perusahaan disebut MACmkt , yakni penjumlahan tambahan biaya pengurangan polusi untuk semua perusahaan (pasar).
2.      biaya tambahan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengawasi dan memaksakan peraturan agar ditaati.  Biaya ini diberi notasi MCE (marginal cost of enforcement).  
Namun, dalam praktek, adanya ketidakpastian yang berkaitan dengan pengukuran biaya dan manfaat dari satu kebijakan pengurangan polusi  menyebabkan pejabat pemerintah menghadapi dilema apakah menaksir besaran tersebut atau menggunakan kriteria alternatif lainnya.    
Setelah tujuan lingkungan ditentukan, pejabat pemerintah mulai memikirkan berbagai instrumen yang mampu mewujudkan tujuan tersebut.  Pilihan kebijakan yang ada bervariasi dari pendekatan ‘Komando&kontrol’ sampai pada pendekatan ‘Pasar’.  Teori ekonomi dapat dan kadang-kadang memberi panduan kepada pengambil kebijakan dalam memilih berbagai kebijakan dengan menggunakan kriteria ‘efisien alokatif’ atau ‘efektif biaya’.  Namun karena kesulitan mengukur manfaat yang diharapkan dari peningkatan kualitas lingkungan, pejabat pemerintah sering kali dipandu oleh kriteria ‘efektif biaya’.
Setelah tahap pemilihan usulan kebijakan, maka mulailah tahap penetapan kebijakan dalam satu peraturan perundangan.  Penetapan ke dalam perundangan ini selalu merupakan masalah yang sangat kompleks baik di Indonesia maupun di luar negeri.  Prosedur yang umum adalah pemerintah, melalui kementrian terkait, membahas rencana perundangan dengan  matang dan kemudian mengajukan usulan perundangan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas kembali dan disetujui.  Tentu tidak semua usulan perundangan lolos di DPR, dan bagi yang lolos akhirnya diundangkan, dan kebanyakan di antaranya mendapatkan perbaikan sepanjang perjalanan dari awal sampai akhirnya mendapat persetujuan DPR untuk diundangkan.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses perundangan tersebut, keadaan ekonomi, implikasinya terhadap perdagangan internasional, politik, dan opini publik.  Di samping kepentingan nasional dan internasional, pengaruh satu perundangan terhadap  ekonomi regional harus juga mendapat pertimbangan.  Akhirnya, dalam hal perundangan mengenai masalah lingkungan, kelompok pemerhati lingkungan sering merupakan elemen yang sangat berpengaruh dan menentukan proses keberhasilan satu usulan perundangan.  Para usahawan dan serikat buruh sering juga memegang posisi kunci keberhasilan diundangkannya satu aturan tertentu.
Setelah satu kebijakan lingkungan diratifikasi oleh DPR, ia harus diterapkan, dimonitor dan dipaksakan penerapannya.  Semua kegiatan ini merupakan tahap pelaksanaan kebijakan.   Pelaksanaan ini dikerjakan oleh lembaga pemerintah yang terkait, seperti misalnya badan POM (Pemeriksaan Obat dan Makanan) yang merupakan bagian dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berada di bawah Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia, bagian Kesehatan tanaman yang berada di bawah Kementrian Pertanian Republik Indonesia, dan sudah tentu oleh Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang merupakan lembaga terbesar di Indonesia dalam urusan masalah lingkungan.
 Sistem monitor terhadap pelaksanaan satu aturan harus diciptakan untuk meyakinkan bahwa aturan tersebut ditaati.  Karena aturan lingkungan menjadi makin kompleks, demikian juga halnya dengan prosedur monitor dan pemaksaan aturan.  Sanksi kejahatan lingkungan kiranya perlu diterapkan sebagai pemaksaan pelaksanaan aturan yang baik.  Monitoring dan pemaksaan aturan oleh pemerintah mempunyai implikasi ekonomi yang penting. Perhatikan Peraga 8.1 di bawah ini.
Tingkat pengurangan polusi yang efisien Ae ditentukan oleh perpotongan kurva MSC dan MSB.  MSC  terdiri dari jumlah biaya marjinal pengurangan polusi oleh semua perusahaan terkait (MACmkt) ditambah  biaya marjinal yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk memonitor dan memaksakan aturan (MCE), di mana MCE ditunjukkan oleh jarak vertikal antara MACmkt  dan MSC.  Apabila MCE  tidak diperhitungkan dalam menentukan tingkat pengurangan polusi yang diinginkan, maka akan terjadi terlalu banyak sumber daya yang dialokasikan untuk kegiatan terebut.  Peraga 8.1 menunjukkan bahwa kesalahan tidak memperhitungkan MCE  akan menyebabkan pengurangan polusi ditentukan pada tingkat A1, yakni pada titik potong antara MSB dan MACmkt . 


Ad.3. Evaluasi kebijakan. Langkah terakhir dalam proses perencanaan pengembangan kebijakan publik adalah penilaian kebijakan.  Langkah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi efektivitas rencana dan gagasan untuk mengadakan perubahan yang diperlukan.  Isu penting pada tahap ini adalah untuk menentukan apakah kebijakan dapat mencapai tujuan, dan untuk menemukenali  kemungkinan adanya akibat negatif terhadap masyarakat. Misalnya pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi konsumsi premium (BBM bersubsidi) dan menggantinya dengan Pertamax untuk mengurangi setidaknya 15 persen polusi udara bahan berbahaya di kota Jakarta.  Evaluasi yang dimaksud adalah untuk menentukan apakah target pengurangan polusi telah dicapai atau tidak, dan apakah terdapat pengaruh pada masyarakat yang tidak diduga sebelumnya, seperti misalnya pergantian karyawan atau kerugian lainnya yang diakibatkan oleh penggantian jenis bahan bakar.
Satu penilaian ekonomi ex-post memakai Benefit-Cost-Analysis dipandu oleh kriteria yang sama dengan yang dipergunakan pada fase perumusan kebijakan, yakni efisien alokatif dan efektif biaya.  Mendasarkan keputusan pada kriteria yang sudah baku 





 UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
 smua file word (doc) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar