PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PUBLIK
Satu Model Kebijaksanaan Lingkungan
Jauh sebelum ada tindakan pemerintah,
masalah lingkungan harus ditemu kenali, sesuatu yang biasanya muncul di
masyarakat bawah. Kemudian masalah lingkungan ini dikomunikasikan kepada pemerintah. Tujuannya adalah untuk mendapat bantuan
pemerintah dengan jalan meyakinkan pejabat atau lembaga pemerintah yang
berwenang agar supaya masalah tersebut dimasukkan pada agendanya. Setelah itu, mulailah apa yang dikenal dengan
tahap pengambilan keputusan, yakni satu proses yang meliputi penilaian
kerusakan lingkungan pada masyarakat, menentukan tujuan, mengevaluasi kemungkinan
pemecahannya, dan melaksanakan beberapa kebijakan. Setelah kebijakan siap untuk dijalankan,
muncullah kegiatan Monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan apakah kebijakan
yang dimaksud telah mampu mencapai tujuan.
Dalam praktek, satu kebijakan yang
ditujukan untuk menangani masalah seperti kebersihan pantai di Bali,
pembuangan/pengolahan sampah di Denpasar memerlukan waktu bertahun-tahun dari
menemu kenali masalah sampai adanya tindakan pemerintah. Oleh karena itu para ahli kebijakan publik
mengembangkan satu model struktur pengembangan kebijakan publik masalah
lingkungan yang lebih mudah dimengerti.
Model tersebut pada umumnya memuat:
- Perumusan masalah
- Agenda kebijakan
- Formulasi kebijakan
- Penetapan kebijakan
- Pelaksanaan kebijakan
- Evaluasi kebijakan.
Untuk memudahkan mengingat keenam tindakan
di atas ini disingkat dan digabungkan menjadi tiga langkah saja, yakni:
1. Perumusan masalah dan agenda kebijakan.
2. Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan,
yang meliputi kegiatan perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, dan
pelaksanaannya.
3. Evaluasi kebijakan.
Ad.1. Perumusan masalah lingkungan dan
agenda kebijakan. Identifikasi adanya masalah lingkungan
dimulai dengan perumusan masalah, penemuan adanya dilema publik, yakni sesuatu
yang mempunyai akibat terhadap beberapa kelompok masyarakat, bukan hanya
mempengaruhi orang perorangan saja.
Kadang-kadang tanda-tanda permasalahannya sangat jelas, seperti misalnya
limbah cair hotel yang dialirkan ke pantai Sanur, atau limbah zat pewarna
perusahaan garmen di Kepaon yang dibuang ke sungai yang mengakibatkan orang
merasa gatal-gatal kalau mereka mandi di pantai/sungai. Dalam hal lain, masalahnya tidak begitu
kentara sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk menemukan kemungkinan
telah terjadi masalah. Dalam keadaan
ini, apabila lingkungan dianggap sebagai penyebabnya, maka masyarakat
kemungkinan besar minta bantuan pemerintah untuk mengidentifikasi sumber
permasalahannya dan menemukan cara-cara untuk menanggulanginya.
Pemahaman masalah atau potensi kerusakan yang akan
terjadi merupakan langkah awal yang penting.
Selanjutnya adalah masyarakat harus meyakinkan pejabat pemerintah bahwa
permasalahannya cukup penting untuk dimasukkan pada agenda pemerintah
daerah/pusat. Dalam praktek, seseorang
sangat sulit meyakinkan pemerintah. Oleh
karenanya, seseorang mungkin melalui kelompok masyarakat pemerhati lingkungan
meminta perhatian pemerintah mengenai masalah lingkungan.
Kalau pejabat pemerintah telah menyadari dugaan
adanya masalah lingkungan, mereka harus yakin bahwa setiap pertanyaan mengenai
kerusakan lingkungan harus dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun demikian,
sama sekali tidak ada jaminan bahwa masalah dimaksud akan dimasukkan pada
agenda resmi. Ini disebabkan oleh karena pemerintah harus mempertimbangkan di
antara banyak masalah yang paling parah atau mendesak untuk mendapatkan
tindakan segera, atau terpaksa menundanya untuk ditangani di masa yang akan
datang. Evaluasi pemerintah akan
pentingnya satu masalah publik beserta risikonya relatif terhadap yang lainnya
memerlukan tidak hanya penilaian yang sistematik tetapi juga penilaian yang
subyektif dan sering terdapat tekanan-tekanan politik. Jadi proses formulasi kebijakan menuju agenda
kebijakan bukanlah tanpa pengaruh faktor yang tidak jelas, meskipun pemerintah
harus satu ketika merumuskan satu kebijakan yang tepat.
Ad.2.
Pengambilan keputusan dan analisis risiko lingkungan. Dalam tahap formulasi kebijakan ada dua fungsi
yang amat penting untuk diselesaikan.
Pertama, pemerintah harus secara resmi menilai parahnya permasalahan
lingkungan dan risikonya terhadap masyarakat. Kegiatan ini disebut penilaian
risiko. Kedua, pemerintah harus
mengembangkan satu kebijakan yang tepat, yang sebagian dari proses ini disebut
manajemen risiko. Mungkin keputusan
yang paling penting dibuat selama
merumuskan kebijakan adalah menentukan apa yang harus diselesaikan melalui
peraturan pemerintah. Tujuan ini akan
menentukan sifat dari kebijakan yang harus diambil.
Dalam keadaan yang ekstrem, tujuan dimaksud
mungkin memberi hak untuk menyetop faktor penyebab pencemaran. Misalnya, PCB (polychlorinated biphenyls)
dan DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) ditengarai sebagai faktor
pemicu kanker dan oleh karenanya pemakaian kedua jenis bahan kimia ini telah
dilarang di seluruh dunia. Kebijaksanaan
yang keras seperti ini walaupun mungkin mengganggu kegiatan ekonomi, namun
tetap harus dilaksanakan dengan tegas dan pasti. Dalam hal ini tidak ada lagi kesempatan untuk
kompromi dan tujuan menyelamatkan masyarakat dari kemungkinan menderita kanker
harus dilaksanakan tanpa kompromi.
Kebanyakan masalah lingkungan hanya memerlukan
satu kebijakan yang bervariasi dari keadaan status quo sampai dengan pelarangan sepenuhnya seperti masalah
PCB dan DDT. Misalnya sekitar Maret 2008
kita di Indonesia dihebohkan oleh isu hasil penelitian Fakultas Kedokteran
Hewan IPB yang menyatakan beberapa merek susu formula yang telah beredar
terkontaminasi dengan bakteri Enterobakter Sakazaki yang dapat menyebabkan
radang pada otak, dan usus serta jaringan seluruh tubuh bayi yang mengonsumsi
susu formula yang terkontaminasi tersebut secara terus menerus secara langsung.
Argumentasi yang berkembang adalah bahwa susu formula tidak dikonsumsi langsung
oleh bayi, melainkan harus dipanaskan terlebih dahulu dan dimasukkan dalam
botol dot dan sebagainya. Di samping itu belum ada ketentuan yang pasti di
Indonesia berapa kandungan bakteri entero bacter sakazaki yang diperkenankan (dapat diterima
oleh masyarakat). Dalam keadaan seperti ini, pejabat dihadapkan
kepada keputusan yang sulit dalam menentukan tingkat pencemaran yang dapat
diterima. Pertanyaannya adalah apa
sesungguhnya tingkat pencemaran yang dapat diterima tersebut dan bagaimana hal
semacam itu diperoleh? Sebagaimana telah
dibicarakan pada bab-bab terdahulu, teori ekonomi mikro memberi petunjuk bahwa
kriteria untuk mendapatkan tingkat pencemaran yang ‘dapat diterima’ adalah
kesejahteraan masyarakat yang maksimum atau istilah ekonominya adalah efisien
alokatif. Hal ini tercapai kalau semua
pengeluaran tambahan (MSC) sama dengan semua manfaat tambahan (MSB)
pengurangan polusi pada susu formula
tersebut. Semua pengeluaran tambahan
untuk mengurangi pencemaran enterobacter Sakasazi itu, seandainya pemerintah
secara tegas mengambil kebijakan untuk menghilangkannya, terdiri dari dua
komponen, yakni;
1. biaya tambahan yang dikeluarkan oleh
perusahaan susu formula yang terkait
untuk mengurangi kontaminasi bakteri. Biaya ini disebut biaya marjinal
pengurangan polusi dan diberi notasi MACi (marginal abatement cost) untuk
masing-masing perusahaan. Biaya
pengurangan polusi untuk semua perusahaan disebut MACmkt ,
yakni penjumlahan tambahan biaya pengurangan polusi untuk semua perusahaan
(pasar).
2. biaya tambahan yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk mengawasi dan memaksakan peraturan agar ditaati. Biaya ini diberi notasi MCE (marginal
cost of enforcement).
Namun, dalam praktek, adanya ketidakpastian yang
berkaitan dengan pengukuran biaya dan manfaat dari satu kebijakan pengurangan
polusi menyebabkan pejabat pemerintah
menghadapi dilema apakah menaksir besaran tersebut atau menggunakan kriteria
alternatif lainnya.
Setelah tujuan lingkungan ditentukan, pejabat
pemerintah mulai memikirkan berbagai instrumen yang mampu mewujudkan tujuan
tersebut. Pilihan kebijakan yang ada
bervariasi dari pendekatan ‘Komando&kontrol’ sampai pada pendekatan ‘Pasar’. Teori ekonomi dapat dan kadang-kadang memberi
panduan kepada pengambil kebijakan dalam memilih berbagai kebijakan dengan
menggunakan kriteria ‘efisien alokatif’ atau ‘efektif biaya’. Namun karena kesulitan mengukur manfaat yang
diharapkan dari peningkatan kualitas lingkungan, pejabat pemerintah sering kali
dipandu oleh kriteria ‘efektif biaya’.
Setelah tahap pemilihan usulan kebijakan, maka
mulailah tahap penetapan kebijakan dalam satu peraturan perundangan. Penetapan ke dalam perundangan ini selalu
merupakan masalah yang sangat kompleks baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Prosedur yang umum adalah
pemerintah, melalui kementrian terkait, membahas rencana perundangan
dengan matang dan kemudian mengajukan
usulan perundangan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas kembali dan
disetujui. Tentu tidak semua usulan
perundangan lolos di DPR, dan bagi yang lolos akhirnya diundangkan, dan
kebanyakan di antaranya mendapatkan perbaikan sepanjang perjalanan dari awal
sampai akhirnya mendapat persetujuan DPR untuk diundangkan.
Banyak faktor yang mempengaruhi proses perundangan
tersebut, keadaan ekonomi, implikasinya terhadap perdagangan internasional,
politik, dan opini publik. Di samping
kepentingan nasional dan internasional, pengaruh satu perundangan terhadap ekonomi regional harus juga mendapat
pertimbangan. Akhirnya, dalam hal
perundangan mengenai masalah lingkungan, kelompok pemerhati lingkungan sering
merupakan elemen yang sangat berpengaruh dan menentukan proses keberhasilan
satu usulan perundangan. Para usahawan
dan serikat buruh sering juga memegang posisi kunci keberhasilan diundangkannya
satu aturan tertentu.
Setelah satu kebijakan lingkungan diratifikasi
oleh DPR, ia harus diterapkan, dimonitor dan dipaksakan penerapannya. Semua kegiatan ini merupakan tahap
pelaksanaan kebijakan. Pelaksanaan ini dikerjakan oleh lembaga
pemerintah yang terkait, seperti misalnya badan POM (Pemeriksaan Obat dan
Makanan) yang merupakan bagian dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berada di bawah Kementrian Tenaga
Kerja Republik Indonesia, bagian Kesehatan tanaman yang berada di bawah
Kementrian Pertanian Republik Indonesia, dan sudah tentu oleh Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang merupakan lembaga terbesar di
Indonesia dalam urusan masalah lingkungan.
Sistem
monitor terhadap pelaksanaan satu aturan harus diciptakan untuk meyakinkan
bahwa aturan tersebut ditaati. Karena
aturan lingkungan menjadi makin kompleks, demikian juga halnya dengan prosedur
monitor dan pemaksaan aturan. Sanksi
kejahatan lingkungan kiranya perlu diterapkan sebagai pemaksaan pelaksanaan
aturan yang baik. Monitoring dan
pemaksaan aturan oleh pemerintah mempunyai implikasi ekonomi yang penting. Perhatikan
Peraga 8.1 di bawah ini.
Tingkat pengurangan polusi yang efisien Ae
ditentukan oleh perpotongan kurva MSC dan MSB. MSC terdiri dari jumlah biaya marjinal pengurangan
polusi oleh semua perusahaan terkait (MACmkt) ditambah biaya marjinal yang dikeluarkan oleh
pemerintah untuk memonitor dan memaksakan aturan (MCE), di mana MCE ditunjukkan
oleh jarak vertikal antara MACmkt dan MSC. Apabila MCE tidak diperhitungkan dalam menentukan tingkat
pengurangan polusi yang diinginkan, maka akan terjadi terlalu banyak sumber
daya yang dialokasikan untuk kegiatan terebut.
Peraga 8.1 menunjukkan bahwa kesalahan tidak memperhitungkan MCE akan menyebabkan pengurangan polusi ditentukan
pada tingkat A1, yakni pada titik potong antara MSB dan
MACmkt .
Ad.3. Evaluasi kebijakan. Langkah terakhir dalam proses perencanaan
pengembangan kebijakan publik adalah penilaian kebijakan. Langkah ini dimaksudkan untuk mengevaluasi
efektivitas rencana dan gagasan untuk mengadakan perubahan yang
diperlukan. Isu penting pada tahap ini
adalah untuk menentukan apakah kebijakan dapat mencapai tujuan, dan untuk
menemukenali kemungkinan adanya akibat
negatif terhadap masyarakat. Misalnya pemerintah mengambil kebijakan untuk
mengurangi konsumsi premium (BBM bersubsidi) dan menggantinya dengan Pertamax
untuk mengurangi setidaknya 15 persen polusi udara bahan berbahaya di kota
Jakarta. Evaluasi yang dimaksud adalah
untuk menentukan apakah target pengurangan polusi telah dicapai atau tidak, dan
apakah terdapat pengaruh pada masyarakat yang tidak diduga sebelumnya, seperti
misalnya pergantian karyawan atau kerugian lainnya yang diakibatkan oleh
penggantian jenis bahan bakar.
Satu penilaian ekonomi ex-post memakai Benefit-Cost-Analysis
dipandu oleh kriteria yang sama dengan yang dipergunakan pada fase perumusan
kebijakan, yakni efisien alokatif dan efektif biaya. Mendasarkan keputusan pada kriteria yang
sudah baku UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
smua file word (doc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar