BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH
A. Pengertian Budaya Organisasi
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya
tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah
satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi. Dewasa ini,
dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami
pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (1984) bahwa
dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan
manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat
rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata
negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak lama disingkirkan.
Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih
dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan
sebagai sebuah kata benda, kini lebih
dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya
budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip
James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita
melakukan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh
Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah :
“ The set of important assumption (often unstated) that members of
community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002)
dari MIT dalam tulisannya tentang Organizational
Culture & Leadership mendefinisikan
budaya sebagai:
“ A
pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its
problems of external adaptation and internal integration, that has worked well
enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as
the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan
kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared
basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu
Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value
(nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana
dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat
Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang
terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia
untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam
Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are
desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“ …setiap
orang mempunyai berbagai pengalaman yang
memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu
mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana
cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana
memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan
ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.”
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai
mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar
penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4)
nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan
diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam
Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between
alternatives, solve conflict, and make decision.”
Dalam
budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan
keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai
dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup.
Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan
membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam
menjadi basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi
: (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;
dan (4) shared feelings.
Pada
bagian lain, Edgar Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated
over and over again; (2) hypothesis
becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection,
reexamination, frame breaking.
Dengan
memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan
berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya
organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di
sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama
yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar
hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak
lebih dari seperempat abad yang lalu,
kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan
ahli maupun praktisi manajemen, terutama
dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi.
Edgar
Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1)
Dimensi
external environments; yang didalamnya terdapat lima hal
esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement;
dan (e) correction.
(2)
Dimensi
internal integration yang di
dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group
boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and
religion.
Pada
bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya
organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2)
groups norms: standards and values; (3) espoused values: published,
publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5)
rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of
group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking,
acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared
meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.
Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari
budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved
behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para
anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan
anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau
ritual tertentu; (2) norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di
dalamnya tentang pedoman sejauh mana
suatu pekerjaan harus dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya
nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi,
misalnya tentang kualitas produk yang
tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy;
yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi
dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi (6) organization climate; merupakan
perasaan keseluruhan (an
overall “feeling”) yang
tergambarkan dan disampaikan melalui
kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara
anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya
organisasi, terutama dilihat dari segi
jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga
pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah
sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan
bahwa dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed
back) dari masyarakat, profesi,
hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya
organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang :
uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put,
berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi,
teknologi, strategi, image, produk dan
sebagainya.
Dilihat dari sisi kejelasan
dan ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L.
Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang
berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada
tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama
oleh orang dalam kelompok UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
smua file word (doc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar