Rabu, 09 Oktober 2013

KULTUR-ORGANISASI



Definisi
Kiranya ada kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi (organizational culture) mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang di anut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.  Penelitian menunjukan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi :
1.      Inovasi  dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan di dorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
2.      Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3.      Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.      Orientasi orang. Sejauh mana keputusan keputusan manejemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut ats orang yang ada dalam organisasi.
5.      Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam tim ketimbang individu-individu
6.      Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai .
7.      Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

Kultur adalah suatu istilah deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu atau tidak, kultur organisasi adalah suatu istilah deskriptif. Ini penting karena hal ini membedakan konsep ini dari konsep kepuasan kerja.
            Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka: Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan Kerja berhubungan dengan bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, disangsikan lagi memiliki karakteristik yang saling tumpang tindih, harus ingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat deskriptif, sementara kepuasan kerja bersifat evaluatif.

Apakah Organisasi Memiliki Kultur yang Seragam?
Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi. Ini menjadi jelas manakala kita mendefinisikan kultur sebagai sebuah sistem makna bersama. Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dengan pengertian yang serupa.
Namun, pengakuan bahwa kultur organisasi memiliki pengertian yang sama tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Sebagian besar organisasi memiliki kultur dominan dan banyak subkultur. Sebuah kultur dominan (dominant culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang kultur sebuah organisasi, kita merujuk pada kultur dominannya. Inilah pandangan makro terhadap kultur yang memberikan kepribadian tersendiri pada sebuah organisasi. Subkultur (subculture) cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi oleh para anggota. Berbagai subkultur ini mungkin muncul di tingkat departemen dan disebabkan oleh faktor geografis. Departemen pembelian, misalnya, dapat memiliki sebuah subkultur yang memiliki sebuah subkultur yang dimiliki secara bersama-sama secara unik oleh anggota-anggota departemen itu. Subkultur itu mencakup nilai-nilai inti (core values) dari kultur dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik bagi anggota departemen pembelian. Demikian pula, sebuah kantor atau unit organisasi yang secara fisik terpisah dari kantor utama organisasi mungkin memiliki kepribadian yang berbeda. Lagi-lagi, nilai inti tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi untuk mencerminkan situasi unik dari unit terpisah itu.
            Jika organisasi tidak memiliki kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variable independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku yang semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek “makna bersama” dan kultur inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk membangun dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya, bahwa kultur Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan resiko. Dan selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan bahwa banyak organisasi juga memiliki berbagai subkultur yang tidak diragukan bias memengaruhi perilaku anggota-anggotanya.


Kultur Kuat versus Kultur Lemah
Membedakan kultur yang kuat dari kultur yang lemah menjadi semakin popular dewasa ini. Argumennya di sini adalah bahwa kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih berkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan.
Dalam kultur yang kuat (strong culture), nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat kultur tersebut. Selaras dengan definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi. Sebagai contoh, Nordstrom yang bermarkas di Seattle telah mengambangkan salah satu kultur layanan terkuat dalam industry ritel. Karyawan-karyawan Nrdstrom pasti tahu apa yang diharapkan dari mereka dan harapan ini memntuk perilaku mereka.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang  keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecendurungan karyawan untuk meninggalkan organisasi.

Kultur versus Formalisasi
Kultur organisasi yang kuat meningkatkan konsistensi perilaku. Dalam pengertian ini, kita semestinya menyadari bahwa kultur yang kuat dapat bertindak sebagai pengganti formalisasi.
Di bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana aturan dan ketentuan formalisasi berfungsi mengatur perilaku karyawan. Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan prediktabilitas, keteraturan dan konsistensi. Persoalan kita di sini adalah bahwa kultur yang kuat mampu mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis. Karena itu, kita bias memandang formalisasi dan kultur sebagai dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin kuat kultur sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan manajemen untuk menyusun dan menetapkan beragam aturan dan ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun perilaku karyawan. Tuntunan itu akan diinternalisasikan dalam diri karyawan ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut.

Kultur Organisasi versus Kultur Nasional
Di sepanjang buku ini, kita memegang keyakinan bahwa perbedaan Negara---yaitu, kultur nasional-----harus diperhitungkan ketika kita mau membuat prediksi akurat mengenai perilaku organisasi di Negara yang berbeda. Tetapi, apakah kultur nasional berada di atas kultur sebuah organisasi? Apakah fasilitas IBM di Jerman, misalnya, lebih mungkin mencerminkan kultur etnis Jerman atau kultur korporat IBM?
Penelitian menunjukkan bahwa kultur nasional memiliki dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada kultur organisasi mereka. Karena itu, karyawan yang berkebangsaan Jerman di sebuah fasilitas milik IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh kultur Jerman daripada oleh kultur IBM. ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan mempengaruhi pembentukan perilaku karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih. Kesimpulan sebelumnyaharus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual yang muncul pada tahap perekrutan. Sebuah korporasi multinasional Inggris, misalnya, kiranya tidak terlalu khawatir ketika merekrut orang yang “tipikal Italia” untuk operasinya di Italia daripada merekrut seorang Italia yang sesuai dengan cara peruasahaan menjalankan segala sesuatu. Karenanya kita bisa berharap bahwa proses seleksi karyawan akan digunakan oleh perusahaan multinasional tersebut untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai dengan kultur dominan organisasi mereka, sekalipun pelamar seperti ini agak atipikal (tidak lazim) untuk anggota negara mereka.

Fungsi-fungsi Kultur
            Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Pertama, kultur berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, kultur memuat rasa identitas anggota organisasi. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial. Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
            Peran kultur dalam mempengaruhi perilaku karyawan menjadi semakin penting di tempat kerja saat ini. Tatkala organisasi terus memperluas rentang kendali, meratakan struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan bahwa setiap orang dituntun ke arah yang sama.
            Siapa yang diterima untuk bergabung dalam organisasi, yang dinilai sebagai karyawan berkinerja tinggi, dan yang mendapat promosi sangat dipengaruhi oleh “ketaatan” individu-organisasi. Artinya, apakah sikap dan perilaku pelamar atau karyawan cocok dengan kultur yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah yang memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan yang dapat mendukung citra itu. Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang kuat, yang didukung oleh aturan dan ktentuan formal yang ada, memastikan bahwa karyawan di taman hiburan Disney akan bertindak dengan cara yang relative seragam dan dapat diprediksi.

Kultur sebagai Beban
Kami tidak mengatakan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekedar mengatakan bahwa kultur itu ada. Banyak dari fungsinya, seperti telah diuraikan, sangat bernilai baik bagi organisasi maupun karyawan. kultur mempertinggi komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawan. Ini jelas merupakan keuntungan bagi organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur bernilai karena mengurangi ambiguitas. Kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Tetapi, kita tidak boleh mengabaikan aspek-aspek kultur yang berpotensi disfungsional, terutama aspek yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi.
Hambatan untuk Perubahan. Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling munglcin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis. Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat), kultur yang sudah kuat mengakar dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku menjadi aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan mempersulit organisasi untuk menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan. Hal ini membantu menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi para eksekutif di organisasi-organisasi seperti Mitsubishi, Easfman Kodak, Boeing, dan Biro Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Inuestigation-FBl) AS belakangan ini dalam menyesuaikan diri dengan-dinamika lingkungan mereka. Organisasi-organisasi ini memiliki kultur kuat yang berhasil di masa silam. Tetapi, kultur-kultur yang kuat ini menjadi hambatan untuk berubah ketika “bisnis sebagaimana biasanya” tidak lagi efektif.
Hambatan bagi Keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru tersebut menerima nilai-nilai inti dari kultur organisasi. Jika tidak, karyawan-karyawan ini tidak mungkin cocok atau diterima. Tetapi pada saat yang sama, manajemen ingin secara terbuka mengakui dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini ke tempat kerja.
Kultur yang kuat memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan diri. kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Dalam beberapa contoh, seperti kasus Texaco yang banyak dipublikasikan (yang diselesaikan atas nama 1.400 karyawan dengan uang ganti rugi senilai 1,76 juta dolar) di mana para manajer senior membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai kelompok minoritas, sebuah kultur yang kuat yang menghidup-hidupkan prasangka dapat memperlemah kebijakan formal keragaman korporat. Organisasi mencari dan merekrut individu yang berbeda-beda karena kekuatan alternatif yang mereka bawa ke tempat kerja. Namun, perilaku dan kekuatan yang beragam ini kiranya akan berkurang didalam kultur organisasi yang kuat karena orang mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang kuat bisa menjadi kendala manakala secara efektit meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan beragam latar belakang ke dalam organisasi. selain itu, kultur yang kuat juga bisa menjadi penghambat ketjka mendukung bias institusional atau tidak sensitif pada perbedaan orang.
Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor-faktor kunci yang diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas (kesesuaian) kultur juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari perusahaan yang akan diakuisisi, apakah akuisisi tersebut benar-benar akan berhasil tampaknya lebih terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut.
Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan' Sebuah survei oleh konsultan A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah kultur orgagisasi yang saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar, “Merger memiliki tingkat kegagalan yang saling tinggi, dan senantiasa disebabkan oleh persoalan manusia” Sebagai contoh, merger senilai 183 miliar dolar pada tahun 2001 antara America online (AOL) dari Time warner adalah yang terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut berubah menjadi bencana-hanya dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosot drastis sebesar 90 persen. Benturan kultur umumnyl dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya permasalahan di AoL Time warner' Sebalaimana dinyatakan seorang pakar. “Dalam beberapa hal' merger AOL dan Time Warner adalah seperti pernikahan seorang remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda. Di AoL, orang menggunakan baju santai dan jins. Time Warner lebih konservatif dalam hal pakaian.

Menciptakan dan Mempertahankan Kultur
Kultur sebuah organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah terhapuskan. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur? Apa yang memperkuat dan menjaga kekuatan-kekuatan kultur ini begitu hal ini mapan? Kita akan menemukan jawaban atas kedua pertanyaan ini di bagian berikutnya.

Mempertahankan Kelangsungan Hidup Kultur
Ketika suatu kultur sudah terbentuk, dibutuhkan praktik-praktik di dalam organisasi yang berfungsi memeliharanya dengan cara membuat karyawan memiliki pengalaman yang sama. Sebagai contoh  banyak praktik pengembangan sumber daya manusia yang akan kita bahas di bab selanjutnya merupakan upaya terkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria evaluasi kinerja kegiatan pelatihan dan pengembangan dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang direkrut  sesuai dengan kultur yang ada memberi imbalan mereka yang  yang mendukungnya dan memberi sanksi. (dan bahkan mendepak) mereka yang menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan peran sangat penting dalam  mempertahankan sebuah kultur ; praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita amati masing-masing secara lebih seksama.
Seleksi, tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut individu-individu yang memiliki pengetahuan keterampilan dan kemampuan untuk berhasil menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal tersebut terjadi, naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan akhir mengenai siapa yang direkrut akan banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan menyangkut seberapa cocok seorang calon dengan organisasi. Upaya untuk memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak, menghasilkan rekrutan yang memegang nilai-nilai yang pada intinya selaras dengan nilai-nilai organisasi, atau paling tidak beberapa bagian dari nilai-nilai itu.  Selain itu proses seleksi memberi informasi kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belalar tentang organisasi itu dan jika menemukan atau merasakan suatu pertentangan antara nilai-nilai mereka dan nilai-nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur. Karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan pelamar membatalkan sebuah “perkawinan” jika tampak adanya ketidakcocokan. Dengan cara demikian proses seleksi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah organisasi dengan cara mengeluarkan individu-individu yang mungkin tidak sesuai atau akan menggerogoti nilai-nilai intinya. 








 smua file word (doc) 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar