Rabu, 09 Oktober 2013

ADMINISTRASI PUBLIK



DEMOKRATISASI POLITIK

DAN REFORMASI ADMINISTRASI PUBLIK


Sewindu Gerakan Reformasi

Gerakan reformasi di Indonesia, yang dimotori oleh para mahasiswa, pada lima tahun pertama (1998-2003) ditandai oleh adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di satu sisi dan munculnya anarkisme sosial di sisi yang lain. Tuntutan terhadap demokrasi, muncul sebagai akibat lahirnya kesadaran tentang banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Kerinduan akan demokrasi juga lahir dari adanya penolakan terhadap relasi-relasi kekuasaan yang angkuh dan represif, tentang relasi-relasi ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta tentang relasi-relasi sosial dangkal dan penuh ritual kolektif namun sangat merendahkan martabat manusia sebagai pribadi. Sedangkan anarkisme sosial terjadi sebagai akibat hancurnya kepastian normatif dan kepantasan berperilaku di dalam masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang berkuasa. Institusi-institusi sosial yang ada dipertanyakan kembali eksistensi dan relevansinya, sementara institusi-institusi baru belum muncul untuk mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai baru yang lahir bersama dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam sosiologi situasi seperti ini disebut sebagai situasi anomie. Pertanyaan kritis yang mengganggu selama itu adalah, apakah gerakan reformasi akan berakhir dengan mengkristalnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atau berakhir dengan anarkisme berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?

Pada tahap kedua (2003 – sekarang), euforia reformasi di jalan raya tampak mulai mereda. Keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilihan presiden secara langsung, diakui banyak pihak termasuk donor internasional, sebagai sebuah keberhasilan politik anak-anak negeri ini dan menjadi indikasi bahwa reformasi berada di jalur yang dikehendaki. Yang menarik untuk dicermati adalah, bahwa setelah pemilihan presiden dilakukan secara langsung dengan mekanisme yang relatif demokratis, dinamika politik berpindah dari jalan raya, ke dalam ruang-ruang sidang komisi dan paripurna di dalam gedung Senayan dan Istana Merdeka. Kata reformasi, tidak lagi merupakan intimidasi, bahkan mereka yang dulu merupakan bagian dari kekuatan yang pendukung status quo dapat mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan ”penelitian khusus”. Di satu sisi, secara positif hal ini dapat dilihat sebagai sebuah konsolidasi yang dapat memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan menuju kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara negatif hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah kompromi yang dapat menjadikan reformasi sebagai gerakan setengah hati yang tidak punya daya dobrak yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.

Terlepas dari apa yang baru dikemukakan, saat ini setiap orang dapat menjadi saksi tentang apa yang sedang terjadi di negeri ini. Dalam bidang hukum, Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengalami revisi, puluhan undang-undang berhasil diberlakukan dari yang mengatur soal otonomi sampai masalah pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi, khususnya sektor riil, bergerak amat perlahan jika tidak ingin bicara soal kebangkrutan karena rendahnya daya beli masyarakat dan semakin berlipatnya jumlah pengangguran. Konsep NKRI dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Lepasnya provinsi ke-27 Timor Timur melalui referendum, begitu pula Gerakan Aceh Merdeka yang dapat memaksa Jakarta untuk duduk bersama di Helsinki, serta masalah Papua yang tidak menerima konsep otonomi ala Jakarta. Terakhir negeri ini dihadapkan pada banyak bencana, dari mulai Alor, Nabire, Aceh, Nias, Jogya dan terakhir di pantai selatan Jawa, khususnya Pangandaran. Semua itu seolah mau mengatakan, bahwa keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam memilih presiden barulah permulaan. Proses demokratisasi tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih harus diuji melalui kemampuannya untuk menjamin dan memberi perlindungan terhadap hak-hak konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya, langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar proses demokratisasi yang selama ini dilakukan bermuara pada apa yang dicita-citakan?

Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain

            Pengalaman bangsa-bangsa lain menunjukkan, bahwa suatu bangsa dapat saja mulai dengan mencanangkan proses demokratisasi setelah tumbangnya rejim otoriter, tetapi tidak semua yang sampai kepada demokrasi yang dicita-citakan. Tidak ada jaminan bahwa rejim baru yang berkuasa dapat bertahan, stabil, dan mampu mengantarkan bangsanya mencapai masyarakat demokratis seperti yang dicita-citakan. Tumbangnya pemerintah Nigeria pada tahun 1983 dan pemerintah Sudan pada tahun 1989, misalnya, merupakan contoh dan pelajaran berharga, khususnya bagi bangsa-bangsa di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tentang bagaimana sulitnya menegakkan demokrasi setelah turunnya sebuah rezim otoriter. Di Angola, sebagai bandingan lain, fase transisi 





 UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....

 smua file word (doc) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar