Minggu, 29 Desember 2013

Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik



Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik



PEMBAHASAN

A. Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik, dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak sederhana. Tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dan hubungannya dengan tujuan pemberian otonomi daerah, maka sebenarnya jelas arahnya, yaitu pemerintah daerah diberi tugas dan fungsi, serta tanggungjawab dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap (seperti; Jembrana, Solok, Sragen dan daerah lainnya)
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.
B. Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan. Prinsip “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” salah satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
  • Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
  • Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
  • Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
  • Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.







 smua file word (doc) 










Konsep Reveinting Goverment



BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Goverment

Pemerintah  adalah sistem untuk menjalankan wewenang dan kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik, suatu negara dan bagian-bagiannya.
Dalam bahasa inggris pemerintah memiliki padanan kata dengan ‘Goverment’ yang artinya:
“A group of people Governing a cauntry or state”
Jika di terjemahkan pengertian pemerintah dalam bahasa inggis tersebut  menjadi “sekelompok orang yang mengatur suatu negeri atau negara”.

2.2 Pengertian Reinventing Goverment

Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”. Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha. Pembaharuan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.
Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New Public Management dimana dalam New Public Management (NPM), negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan dalam paradigma New Public Management (NPM). Warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Prinsip dalam New Public Management (NPM) berbunyi, “dekat dengan warga, memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam memberikan layanan jasa kepada warga”
Konsep reinventing government, apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia konsep ini berarti menginventarisasikan lagi kegiatan pemerintah. Pada awalnya, gerakan reinventing government diilhami oleh beban pembiayaan birokrasi yang besar, namun dengan kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Pressure dari publik sebagai pembayar pajak mendesak pemerintah untuk mengefisiensikan anggarannya dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi pelayanan publik yang tidak dapat diefisiensikan lagi dan telah membebani keuangan Negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Dengan demikian, maka akan terjadi proses pereduksian peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan publik, kini menjadi berbagi dengan pihak swasta, yang semula merupakan “big government” ingin dijadikan “small government” yang efektif, efisien, responsive, dan accountable terhadap kepentingan publik.

2.3 Prinsip Reinventing Goverment

Osborn dalam buku memangkas birokrasi. mengemukakan Prinsip-prinsip Reinventing Government ,yaitu :
1. Pemerintahan katalis
Pemerintahan yang memisahkan fungsi pemerintah sebagai pengarah ( membuat kebijakan ,peraturan,undang-undang) dengan fungsi pelaksana(penyampai jasa dan penegakan). Kemudian pemerintah menggunakan metode kontrak ,voucher hadiah ,insentif pajak dan sebagainya untuk membantu organisasi public untuk mencapai tujuan.

2. Pemerintah adalah Milik Masyarakat
Mengalihkan wewenang control yang dimiliki pemerintah kepada masyarakat dengan memberdayakan masyarakat sehingga mampu mengontrol pelayanan yang dilakukan birokrasi.

3. Pemerintah yang kompetitif
Pemerintaha kompetitif mensyaratkan persaingan diantara penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga.mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan.

4. Pemerintah berorientasi pada Misi
Pemerintah yang berorientasai misi melakukan deregulasi internal ,menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan system administrative, seperti anggaran ,kepegawaian dan pengadaan. Mereka mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas ,kemudian member kebebasan kepada manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut dalam batas – batas legal.

5. Pemerintah berorientasi pada hasil
Pemerintah yang result oriented mengubah focus dari input( kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai dengan ketetapan ) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil .mereka mengukur kinerja badan public,menetapkan target ,memberi imbalan kepada badan – badan yang mencapai atau melebihi target dan menggunakan anggaran untuk mengungkapakan tingkat kinerja yang diharapkan dalam besarnya anggaran.

6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan
Pemerintah yang berorintasi pada pelanggan memperlakukan masyarakat sebagai pelanggan yang harus diberi pelayanan  dengan melakukan survey pelanggan,menetapkan standar pelayanan, ,memberi jaminan dan sebagainya. Pemerintah meredesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan.

7. Pemerintah wirausaha
Pemerintah berusaha memfokuskan energinya bukan sekedar untuk menghabiskan anggaran ,tetapi juga menghasilkan uang .pemerintah meminta masyarakat yang dilayani untuk membayar menuntut return on investment . mereka memamfaatkan insentif seperti dana usaha ,dana inovasi untuk mendorong para pimpinan badan pemerintah untuk berpikir mendapatkan dana operasional.

8. Pemerintah antisipatif
Pemerintah yang antisipatif adalah pemerintah yang berpikir kedepan . mereka mencoba mencegah timbulnya masalah dari pada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah . mereka menggunakan perencanaan strategis , pemberian visi masa depan,dan berbagai metopde lain untuk melihat masa depan.

9. Pemerintahan desentralisasi
Pemerintah desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi atau system,mendorong mereka yang lansung melakukan pelayanan atau pelaksana,untuk lebih berani membuat keputusan sendiri.

10.Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar
 Pemerintah yang berorientasi pada pasar sering memamfaatkan struktur pasar swasta untuk memecahkan masalah dari pada  menggunakan mekanisme administrative , seperti menyampaikan pelayanan atau perintah dan control dengan memamfaatkan peraturan . mereka menciptakan insentif keuangan , insentif pajak, pajak hijau, affluent fees. Dengan cara ini , organisasi swasta atau anggota masyarakat berprilaku yang mengarah pada pemecahan masalah sosial

Menurut Imawan, prinsip utama Reinventing Government terbagi menjadi 5, yaitu:
(1) Steering (mengendalikan, memfasilitasi aktivitas masyarakat).
(2) Empowering (memberdayakan anggota masyarakat).
(3) Meeting the need of the costumer, not bureaucracy.
(4) Earning
(5) Prevention.

2.4 Strategi Reinventing Goverment.

Adapun Strategi dari Reinventing Goverment ialah:
1. Strategi inti (the core strategy)
Strategi ini menentukan tujuan (the purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.
Jadi dengan demikian penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai peran yang sama pentingnya dalam melengkapi tujuan organisasi publik. Hal ini penting sebagai usaha agar karyawan atau pegawai mempunyai arah dan pegangan yang jelas. Di luar itu, strategi ini terutama berkaitan dengan usaha-usaha memperbaiki pengarahan (steering).

2. Strategi konsekuensi (the consequences strategy)
Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus, mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan.
Dalam rangka reinventing government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu, organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (atau persaingan antar organisasi publik).
Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang lebih tinggi.

3. Strategi pelanggan (the customers strategy)
Strategi ini terutama memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama, dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas.
 Model pertanggungjawaban seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-organisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat/konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain, penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers satisfaction).










UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....

 smua file word (doc) 







EKSISTENSI GOOD GOVERNANCE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH








EKSISTENSI  GOOD GOVERNANCE DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH






B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka terdapat beberapa
hal yang menjadi Rumusan Masalah yang akan dikaji lebih dalam, yaitu :
1.   Bagaimana konsep Good Governance ?
2.   Apakah yang menjadi faktor-faktor yang menghambat terwujudnya
Sistem Pemerintahan yang Baik ?
3.   Bagaimana  implementasi  Konsep  Good  Governance  di  mencapai
Sistem Pemerintahan yang Baik di Kota Manado ?

C. METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan, yang
bertujuan   untuk   lebih   mengetahui   dan   lebih   memahami   segala   segi kehidupan,  sehingga  suatu  penelitian  harus  dilakukan  secara  sistematis dengan metode-metode dan tehnik-tehnik yaitu yang ilmiah.  Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan karya ilmiah yang berkaitan dengan analisis konstruksi yang dilaksanakan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu.  Sistematis adalah berdasarkan  suatu  alasan,  sedangkan  konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu karangan tertentu. Pada prinsipnya metode penelitian memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa serta memahami permasalahan yang dihadapinya. Penelitian merupakan suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui penelitian tersebut   diadakan   analisa   dan   konstruksi   terhadap   data   yang   telah dikumpulkan dan diolah.
Metodologi penelitian ini terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, bahan penelitian, wilayah penelitian, populasi dan penarikan sampel,  teknik pengumpulan  data  dan  analisis  data.  Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu menggunakan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada dalam menganalisa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI
1945) Pasal 1 ayat (3) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah
Dalam penelitian ini, peneliti akan banyak mengungkapkan hasil penelitian dan penalaran logis secara analisis kualitatif yaitu dengan membuat
deskripsi berdasarkan data-data yang ada. Adapun metode analisis datanya, ditempuh dengan cara mengkaji materi   konsep Good Governance dalam
menciptakan  Sistem  Pemerintahan  yang  Baik  di  Kota  Manado.  Hasil penelitian dari data yang diperoleh tersebut akan dikaji serta dibahas sebagai suatu bahan yang komprehensif dalam rangka pengungkapan bahasan dengan
menggunakan metode kualitatif akan menghasilkan analisis data deskriptif, analistis.  Penggunaan  metode  analisis  kualitatif  tidak  terlepas  dari  alasan
bahwa sifatnya yang holistik yang secara menyeluruh dalam hal faktor-faktor yang  berperan mempengaruhi di dalamnya. Hal tersebut juga tidak terlepas dari arah dari penelitian hukum yang bertaraf kualitatif dan deskriptif.

D. PEMBAHASAN
1.  Konsep Good Governance
Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaran pemerintahan
yang  baik.  Pemerintahan  sendiri  dapat  diartikan  secara  sempit  dan  luas. Dalam arti sempit penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan
pelaksanaan  fungsi  administrasi  negara.  Dalam  kaitan  ini,  Bagir  Manan
menjelaskan bahwa di negara Belanda yang kemudian juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia, dikenal adanya prinsip prinsip atau asas asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik (algemene beginselven van behoorlijkbestuur general princiles of good administration), yang berisi pedoman yang harus dipergunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan perbuatan hukum (rechtshandelingen) administrasi negara.
Asas-asas ini antara lain mencakup: motivasi yang jelas , tujuan yang jelas, tidak sewenang wenang (willekeur), kehati- hatian ( zorgvuldigheid), kepastian hukum, persamaan perlakuan tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan (detournement de pouvoir, fairness) dan lain-lain.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembahasan mengenai good and clean government di Indonesia baru dimulai pada tahun tahun terakhir ini. Tetepai sebenranya menurut Saldi Isra, dilihat dari perkembangan peraturan perundang undangan pembicaraan ke arah pemerintahan yang baik dan benar sudah dimulai seiring dengan kuatnya keinginan untuk membuat Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Artinya, pembicaraan good and clean government , paling tidak sudah dimulai sejak awal tahun 1970 –an, yaitu dengan penerbitan buku Kuntjoro Purbopranoto yang berjudul Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara pada tahun 1978.
Kemudian secara kelembagaan , upaya itu dapat dilihat dari adanya
Proyek Penelitian tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1989. Buku dan hasil penelitian tersebut berhasil menjadi doctrine penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia. Meskipun upaya menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih telah dimulai sejak tahun
1970-an, tetapi tidak mampu membawa perubahan dalam praktik penyelenggaraan negara. Hal ini karena menurut Saldi Isra AAUPB tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. Oleh karena itu pelanggarnya tidak adapat dikenakan sanksi. Keinginan menjadaikan good and clear government   ke   dalam   norma   hukum   baru   dimulai   setelah   Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997 yang diikuti dengan jatuhnya rezim orde baru pada bulan Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme  (KKN). Kemudian diikuti dengan diterbitkanya Undang - Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Korupsi , Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Pemberlakuan  Undang  -  Undang  Nomor  28  Tahun  1999  tentang
Penyelenggaraan  Negara  yang  Bersih  Korupsi  ,  Kolusi  dan  Nepotisme (KKN)  tersebut  kemudian  diikuti  dengan  empat  Peraturan  Pemerintah sebagai pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Penyelenggara Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Tata Cara dan Pengangkatan serta Pemberhentian Anggota  Komisi  Pemeriksa,  Pemerintah  Nomor  67 Tahun
1999 tentang Tata Cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaskanaan Tugas dan
Wewenang Komisi Pemeriska dan , Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun
1999   tentang   Tata   Cara   Pelaksanaan   Peran   Serta   Masyarakat   dalam
Penylenggaraan  Negara.  Berlakunya  Undang  - Undang Nomor  22  Tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah telah membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah. Demikian pula berlakunya Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah , sekaligus membawa dasar perubahan dalam hak keuangan sehingga hal tersebut membawa perubahan keseluruhan dalam aspek kesisteman di pemerintah pusat dan pemerintah daerah (baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota).
Otonomi  juga  hendak  mengubah  atau  mereform warna  government yang bertitik tekan pada otorita kepada governance yang betitik tekan pada interaksi diantara pemerintah (public) , masyarakat (community) dan swasta (profit maupun sosial) Di dalam kerangka pelaksaan otonomi daerah, maka haruslah disadari makna, filsofi atau prinsip yang harus diterapkan ialah sharing of power, distribution of income dan empowering of regional administration.  Dan  ini  semua  adalah  di  dalam  kerangka  mencapai  the ultimate goal of autonomy ialah kemandirian daerah terutama kemandirian masyarakat.Ini   berarti   bagaimana   daerah   memiliki   kewenangan   bukan sekedar penyerahan urusan untuk menyelenggarakan pemerintah daerah.9
Dalam  good   governance   terdapat   tiga   domain   yang  terlibat   di dalamnya yaitu pemerintahan, swasta dan masyarakat. Untuk menyelenggarakan  good  governance  diperlukan  adanya  pembagian  peran yang jelas dari masing-masing domain tersebut. Apabila sebelumnya sumber- sumber kewenangan berpusat pada pemerintah sebagai institusi tertinggi yang mewakili negara, maka secara bertahap telah dilakukan transfer kewenangan dan tanggungjawab kepada institusi di luar pemerintah pusat. Transfer kewenangan dan tanggungjawab ini dilakukan dalam rangka desentralisasi.10
Di Era otonomi daerah ini, dengan bergesernya pusat-pusat kekuasaan dan meningkatnya operasionalisasi dan berbagai kegiatan lainya di daerah maka konsekuensi logis pergeseran tersebut harus diiringi dengan meningkatnya
good governance di daerah.

2.  Hambatan-Hambatan Dalam Pengimplementasian Good Governance
Kepemerintahan daerah yang baik (good local governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gagasan yang dilakukan masyarakat kepada pemerintah untuk
pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi
pergeseran paradigma pemerintahan dari rulling government yang terus bergerak  menuju  good  governance”  dipahami  sebagai  suatu  fenomena
berdemokrasi  secara  adil.  Untuk  itu  perlu  memperkuat  peran  dan  fungsi
DPRD agar eksekutif dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
DPRD yang seharusnya mengontrol jalannya pemerintahan agar selalu sesuai   dengan   aspirasi   masyarakat,   bukan   sebaliknya   merusak   dan
mengkondisikan  Eksekutif untuk melakukan  penyimpangan-penyimpangan
terhadap  aturan-aturan  yang  berlaku,  melakukan  kolusi  dalam pembuatan anggaran agar menguntungkan dirinya, serta setiap kegiatan yang seharusnya digunakan untuk mengontrol eksekutif, justru sebaliknya digunakan sebagai kesempatan untuk “memeras” eksekutif sehingga eksekutif perhatiannya menjadi lebih terfokus untuk memanjakan anggota DPRD dibandingkan dengan masyarakat keseluruhan. Dengan demikian tidak aneh, apabila dalam beberapa waktu yang lalu beberapa anggota DPRD dari berbagai Kota/Kabupaten ataupun provinsi   banyak yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam berbagai kasus yang diindikasikan korupsi. Hal ini yang sangat disesalkan oleh semua pihak, perilaku kolektif anggota dewan yang menyimpang dan cenderung melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.
Perspektif  sektor  publik  terhadap  good  governance  menempatkan proses   pencapaian   tujuan   bersama   dalam   bernegara   yang   melibatkan
pemerintah,   dunia   usaha,  dan   masyarakat   melalui   sistem  administrasi negara  Untuk dapat tercapainya tujuan tersebut, maka tentunya masing- masing institusi/lembaga negara harus secara serempak menerapkan dan menegakkan good governance. Hal ini dapat efektif dicapai melalui administrasi publik/birokrasi yang mampu dalam menjalankan peran, tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggungjawab, yang dilaksanakan   secara   efektif,   efisien,   bebas   dari   korupsi,   kolusi,   dan nepotisme,  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  dan  kemakmuran  seluruh










 smua file word (doc)