DINAMIKA
PARTAI POLITIK
DAN
DEMOKRASI
1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status) dan
peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai
memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai
politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider (1942), “Political parties
created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting
untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the
degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang
demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis
dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya
menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan
politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu
birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat
bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara
rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan
publik tertentu ‘at the expense of the
general will’ (Rousseau, 1762) atau kepentingan umum (Perot, 1992).
Dalam
suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah
sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan “checks and balances”. Akan tetapi jika
lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak
efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka
yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim lah
yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik
sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang
luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu
sesuai prinsip “checks and balances”
berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan
mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu
berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas
dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu
pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan
berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang
bersangkutan.
Tentu saja, partai politik adalah merupakan
salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide,
pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di
samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud
kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui
organisasi-organisasi non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat
(LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah
(NGO’s), dan lain sebagainya.
Namun,
dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai
media dan wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain
seperti pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan
sebagainya, peranan partai politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam
dinamika kegiatan bernegara. Pertai politik betapapun juga sangat berperan
dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk
menentukan kebijakan dalam konteks kegiatan bernegara.
Partai
politik lah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan
keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan
institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya,
“Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of
Modern Democracy”, “... organisasi ...
merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan
kolektif”[1].
Kesempatan
untuk berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan sangat banyak tergantung
kepada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Tingkat kebersamaan itu
terorganisasikan secara tertib dan teratur dalam pelaksanaan perjuangan bersama
di antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama yang menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan.
Karena
itu, dapat dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan
hakiki bagi setiap perjuangan politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa
peranan organisasi partai sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan
demokrasi. Dengan adanya organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi
kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau saingan, karena
kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam
satu front.
Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya
sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, menurut
Yves Meny and Andrew Knapp, “A democratic
system without political parties or with a single party is impossible or at any
rate hard to imagine”. Suatu sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai
politik, sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa
partai politik sama sekali.
Tingkat atau derajat pelembagaan partai politik
itu sendiri dalam sistem demokrasi, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp,
tergantung kepada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) “its age”, (ii) “the
depersonalization of organization”, dan (iii) “organizational differentiation”.[i] Setiap
organisasi yang normal tumbuh dan berkembang secara alamiah menurut tahapan
waktunya sendiri. Karena itu, makin tua usianya, ide-ide dan nilai-nilai yang
dianut di dalam organisasi tersebut semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi.
Organisasi
yang berkembang makin melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”. Orang dalam maupun
orang laur sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan
sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan persoalan personal atau
pribadi para individu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi,
meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi dimana
urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari
urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan
organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya
belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Jika
hal ini dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak sekali
organisasi kemasyarakatan yang kepengurusannya masih sangat “personalized”. Organisasi-organisasi besar di bidang
keagamaan, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat
yang berbeda-beda, masih menunjukkan gejala personalisasi yang kuat atau malah
sangat kuat. Organisasi-organisasi di bidang kepemudaan, di bidang sosial, dan
bahkan di bidang pendidikan, banyak sekali yang masih ‘personalized’, meskipun derajatnya berbeda-beda. Bahkan, saking
bersifat ‘personalized’nya organisasi
yang dimaksud, banyak pula di antaranya yang segera bubar tidak lama setelah
ketuanya meninggal dunia.
Gejala “personalisasi”
juga terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan
suksesi atau pergantian kepemimpinan. Dikatakan oleh Monica dan Jean Charlot,
“Until
a party (or any association) has surmounted the crisis of finding a successor
to its founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate
in the eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
Selama suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis
dalam pergantian kepemimpinannya, dan belum berhasil meletakkan dasar
pengaturan yang dapatUNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....
smua file word (doc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar