Rabu, 09 Oktober 2013

DINAMIKA PARTAI POLITIK



DINAMIKA PARTAI POLITIK
DAN DEMOKRASI



1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”.
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ (Rousseau, 1762) atau kepentingan umum (Perot, 1992).
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan “checks and balances”. Akan tetapi jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim lah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.
Tentu saja, partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain sebagainya.
Namun, dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai media dan wahana tentulah sangat menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain seperti pers yang bebas dan peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan sebagainya, peranan partai politik dapat dikatakan sangat menentukan dalam dinamika kegiatan bernegara. Pertai politik betapapun juga sangat berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan (values and interests) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam konteks kegiatan bernegara.
Partai politik lah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Menurut Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif[1].
Kesempatan untuk berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan sangat banyak tergantung kepada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Tingkat kebersamaan itu terorganisasikan secara tertib dan teratur dalam pelaksanaan perjuangan bersama di antara orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama yang menjadi anggota organisasi yang bersangkutan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap perjuangan politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa peranan organisasi partai sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau saingan, karena kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam satu front.
Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, menurut Yves Meny and Andrew Knapp, “A democratic system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai politik, sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.
Tingkat atau derajat pelembagaan partai politik itu sendiri dalam sistem demokrasi, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, tergantung kepada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) “its age”, (ii) “the depersonalization of organization”, dan (iii) “organizational differentiation”.[i] Setiap organisasi yang normal tumbuh dan berkembang secara alamiah menurut tahapan waktunya sendiri. Karena itu, makin tua usianya, ide-ide dan nilai-nilai yang dianut di dalam organisasi tersebut semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi.
Organisasi yang berkembang makin melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”. Orang dalam maupun orang laur sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan persoalan personal atau pribadi para individu yang kebetulan menjadi pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak terbangun suatu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Jika hal ini dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak sekali organisasi kemasyarakatan yang kepengurusannya masih sangat “personalized”.  Organisasi-organisasi besar di bidang keagamaan, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat yang berbeda-beda, masih menunjukkan gejala personalisasi yang kuat atau malah sangat kuat. Organisasi-organisasi di bidang kepemudaan, di bidang sosial, dan bahkan di bidang pendidikan, banyak sekali yang masih ‘personalized’, meskipun derajatnya berbeda-beda. Bahkan, saking bersifat ‘personalized’nya organisasi yang dimaksud, banyak pula di antaranya yang segera bubar tidak lama setelah ketuanya meninggal dunia.
Gejala “personalisasi” juga terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan. Dikatakan oleh Monica dan Jean Charlot,
Until a party (or any association) has surmounted the crisis of finding a successor to its founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate in the eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
            Selama suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya, dan belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat





 UNTUK LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI KAMI....

 smua file word (doc) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar