BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan publik di Indonesia mempunyai peran penting bahkan
vital pada kehidupan ekonomi dan politik. Pelayanan publik memiliki implikasi
yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Tetapi kualitas pelayanan publik
sampai saat ini secara umum masih belum baik. Buruknya kualitas pelayanan
publik menimbulkan krisis kepercayaan di masyarakat terhadap birokrasi publik.
Dwiyanto (2006: 1) mengatakan bahwa krisis kepercayaan ditunjukkan dengan
munculnya berbagai bentuk protes dan demonstrasi kepada birokrasi baik di
tingkat pusat maupun di daerah. Bentuk protes dan demonstrasi ini bahkan sudah
sampai pada bentuk pendudukan dan perusakan kantor-kantor pemerintah. Hal ini
menunjukkan akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap buruknya kualitas
pelayanan birokrasi pemerintah. Kondisi penyelenggaraan pelayanan publik yang
buruk oleh aparatur pemerintahan dalam berbagai segi pelayanan diakui oleh
Faisal Tamin (pada saat itu sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara)
dalam seminar nasional "Menuju terciptanya single identity number" di
Hotel Indonesia, Senin, 13 Oktober 2003. Faisal Tamim mengatakan masyarakat
selama ini masih merasakan prosedur dan mekanisme pelayanan yang
berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, kurang akomodatif, dan
kurang konsisten sehingga tidak menjamin kepastian hukum, waktu, dan biaya.
(http://www.tempointeraktif.com/)
Buruknya kualitas pelayanan publik juga ditunjukkan pada beberapa jenis layanan publik masih ditemukan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa situasi yang mempengaruhi aparat pemerintahan melakukan KKN. Di satu sisi aparat pemerintahan memiliki tingkat penghasilan yang rendah dan di sisi yang lain dihadapkan dengan tingkat kebutuhan yang tinggi. Hal ini mendorong aparat pemerintahan untuk melakukan KKN guna memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya perilaku ini merupakan upaya darurat untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tercukupi. Tetapi pada tahap selanjutnya berkembang menjadi perilaku dan budaya dari aparat pemerintahan.
Aparat pemerintahan melakukan korupsi secara terbuka misalnya dengan meminta "uang administrasi atau uang rokok" dari warga masyarakat yang memerlukan pelayanan. Perilaku korupsi ini diterima di masyarakat sebagai suatu hal yang normal dan wajar karena gaji pegawai negeri sipil yang tidak mencukupi (Prasojo, 2006: 298).
KKN merupakan ciri yang menonjol pada birokrasi yang buruk saat ini terutama di Indonesia. Hampir setiap hari media massa baik elektronik maupun cetak memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintahan. Korupsi dilakukan secara berjamaah dari mulai level pegawai terendah sampai dengan pegawai level tertinggi di setiap unit pemerintah. Akhir-akhir ini tidak jarang terlihat pejabat-pejabat tinggi tertangkap tangan sedang melakukan KKN. Beberapa diantaranya sudah dijatuhi hukuman penjara, sedang sebagian yang lainnya masih dalam proses. Korupsi dalam pelayanan publik sudah menjadi praktek sehari-hari di Indonesia dan bahkan sudah terlembaga yang melibatkan semua pihak yang terkait yang saling menjaga rahasia dan saling melindungi (Prasojo, 2006: 298).
Menurut Adiningsih (2007), persoalan korupsi adalah masalah struktural dan berhubungan dengan sistem birokrasi. Sikap korup timbul karena gaji yang masih rendah, adanya iming-iming uang yang ditawarkan dalam jumlah yang besar kepada aparat, dan posisi kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan. Faktor kebutuhan hidup yang semakin besar dan godaan yang ada juga menjadi pemicu korupsi (http://www.antara.co.id).
Adanya persoalan yang dihadapi oleh aparat pemerintahan ini menjadikan pelayanan publik buruk. Prasojo (2006: 297) mengatakan bahwa perilaku korupsi dapat merugikan rakyat karena pada akhirnya merupakan prinsip zero sum game, yaitu ada pihak yang diuntungkan dan selalu ada pihak yang dirugikan. Pada awalnya perilaku korupsi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Karena kesempatan terkait dengan posisi yang dimiliki besar maka korupsi dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri. Perilaku memanfaatkan kesempatan melakukan KKN terkait dengan posisi membuat tugas untuk melayani masyarakat diabaikan.
Tingkat korupsi di Indonesia memperlihatkan angka yang cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun. Hasil riset Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang melingkupi ratusan negara di dunia yang dilakukan oleh Transparency International, Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang termasuk dalam objek riset masih berada pada peringkat bawah (lihat tabel 1.1). Erry Riyana Hardjapamekas (waktu itu sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Temu Nasional dalam rangka memperingati "100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional" di Bandung, Sabtu, 21 Juni 2008 mengusulkan adanya prioritas reformasi birokrasi di lingkungan penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS). Political and Economic Risk Consultancy (PERC) juga menempatkan Indonesia pada posisi kedua negara terkorup di Asia, setelah Filipina tahun 2007. Data ini lebih baik dari tahun sebelumnya dimana Indonesia berada pada urutan pertama dalam daftar tahun 2006 (http ://www.pikiran-rakyat.com).
Buruknya kualitas pelayanan publik juga ditunjukkan pada beberapa jenis layanan publik masih ditemukan adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kondisi ini terjadi karena adanya beberapa situasi yang mempengaruhi aparat pemerintahan melakukan KKN. Di satu sisi aparat pemerintahan memiliki tingkat penghasilan yang rendah dan di sisi yang lain dihadapkan dengan tingkat kebutuhan yang tinggi. Hal ini mendorong aparat pemerintahan untuk melakukan KKN guna memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya perilaku ini merupakan upaya darurat untuk memenuhi kebutuhan yang tidak tercukupi. Tetapi pada tahap selanjutnya berkembang menjadi perilaku dan budaya dari aparat pemerintahan.
Aparat pemerintahan melakukan korupsi secara terbuka misalnya dengan meminta "uang administrasi atau uang rokok" dari warga masyarakat yang memerlukan pelayanan. Perilaku korupsi ini diterima di masyarakat sebagai suatu hal yang normal dan wajar karena gaji pegawai negeri sipil yang tidak mencukupi (Prasojo, 2006: 298).
KKN merupakan ciri yang menonjol pada birokrasi yang buruk saat ini terutama di Indonesia. Hampir setiap hari media massa baik elektronik maupun cetak memberitakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para aparat pemerintahan. Korupsi dilakukan secara berjamaah dari mulai level pegawai terendah sampai dengan pegawai level tertinggi di setiap unit pemerintah. Akhir-akhir ini tidak jarang terlihat pejabat-pejabat tinggi tertangkap tangan sedang melakukan KKN. Beberapa diantaranya sudah dijatuhi hukuman penjara, sedang sebagian yang lainnya masih dalam proses. Korupsi dalam pelayanan publik sudah menjadi praktek sehari-hari di Indonesia dan bahkan sudah terlembaga yang melibatkan semua pihak yang terkait yang saling menjaga rahasia dan saling melindungi (Prasojo, 2006: 298).
Menurut Adiningsih (2007), persoalan korupsi adalah masalah struktural dan berhubungan dengan sistem birokrasi. Sikap korup timbul karena gaji yang masih rendah, adanya iming-iming uang yang ditawarkan dalam jumlah yang besar kepada aparat, dan posisi kerja yang tidak sesuai dengan kemampuan. Faktor kebutuhan hidup yang semakin besar dan godaan yang ada juga menjadi pemicu korupsi (http://www.antara.co.id).
Adanya persoalan yang dihadapi oleh aparat pemerintahan ini menjadikan pelayanan publik buruk. Prasojo (2006: 297) mengatakan bahwa perilaku korupsi dapat merugikan rakyat karena pada akhirnya merupakan prinsip zero sum game, yaitu ada pihak yang diuntungkan dan selalu ada pihak yang dirugikan. Pada awalnya perilaku korupsi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Karena kesempatan terkait dengan posisi yang dimiliki besar maka korupsi dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri. Perilaku memanfaatkan kesempatan melakukan KKN terkait dengan posisi membuat tugas untuk melayani masyarakat diabaikan.
Tingkat korupsi di Indonesia memperlihatkan angka yang cukup memprihatinkan dari tahun ke tahun. Hasil riset Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang melingkupi ratusan negara di dunia yang dilakukan oleh Transparency International, Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang termasuk dalam objek riset masih berada pada peringkat bawah (lihat tabel 1.1). Erry Riyana Hardjapamekas (waktu itu sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) pada Temu Nasional dalam rangka memperingati "100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional" di Bandung, Sabtu, 21 Juni 2008 mengusulkan adanya prioritas reformasi birokrasi di lingkungan penyelenggara negara dan pegawai negeri sipil (PNS). Political and Economic Risk Consultancy (PERC) juga menempatkan Indonesia pada posisi kedua negara terkorup di Asia, setelah Filipina tahun 2007. Data ini lebih baik dari tahun sebelumnya dimana Indonesia berada pada urutan pertama dalam daftar tahun 2006 (http ://www.pikiran-rakyat.com).
Lebih lanjut Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, birokasi
di Indonesia sangat mempengaruhi lemahnya gerak pembangunan dan daya saing
bisnis. Hal itu akan terlihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pada tahun 2005, IPM
Indonesia menduduki peringkat ke-110 dari 177 negara. Sedangkan, tahun 2006
Indonesia menduduki peringkat ke-108 dari 189 negara. Ironisnya, pada tahun
2006 tersebut sejumlah negara tetangga Indonesia memiliki IPM yang cukup baik,
sebagai contoh IPM Malaysia menduduki peringkat ke-63, IPM Singapura menduduki
peringkat ke-25, dan IPM Thailand menduduki peringkat ke-77 (http://www.pikiran-rakyat.com).
Prestasi Indonesia di sektor ekonomi juga rendah. Hal ini
disebabkan kemudahan berusaha di Indonesia rendah. Dalam survei tahunan
bertajuk Doing Business 2008 yang dilakukan Bank Dunia (World Bank) dan
International Finance Corporation (IFC) yang dilakukan pada 178 negara di dunia
mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-135 pada tahun 2006 dan
naik ke peringkat ke-123 pada tahun 2007 (http://www.seputar-indonesia.com).
Dalam laporan tersebut disebutkan, peringkat kemudahan
berusaha di Indonesia posisi Indonesia masih tertinggal dibandingkan pencapaian
negara-negara lain. Bahkan di tingkat Asia posisi Indonesia juga tertinggal.
Survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk
Consultancy Ltd (PERC) tentang kualitas birokrasi Indonesia terhadap 1.000
ekspatriat di Asia menunjukkan buruknya birokrasi di Indonesia. Indonesia
menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi,
indikatornya adalah prosedur yang harus dilalui panjang dan membutuhkan biaya
yang besar dalam penyelesaian administrasi. Indonesia memperoleh nilai indeks
8,20 dalam survei tersebut. Nilai ini hanya lebih baik dari India yang
memperoleh nilai 8,95. Singapura menjadi negara dengan birokrasi terbaik dengan
nilai 2,20. Usman Abdhali Mali mengatakan efek domino yang bersumber pada
prototipe birokrasi Indonesia yang korup, lamban, preman, boros, dan tidak
profesional, salah satunya adalah hengkangnya para investor asing yang
berdampak pada PHK massal karyawan pabrik (http://www.sinarharapan.co.id).
Survey Litbang Media Group 2007 menunjukkan buruknya pelayanan publik. 65% responden menunjukkan ketidakpuasannya atas layanan birokrasi dimana dalam layanan responden diminta biaya ekstra untuk layanan penerbitan dokumen tertentu. Hal ini dirasakan memberatkan masyarakat dan merupakan penyimpangan karena sebenarnya 70% anggaran negara sudah dikeluarkan untuk membiayai birokrasi. Hanya 9% (dalam 15 tahun terakhir) pengeluaran umum pemerintah untuk melayani rakyat. Berbeda dengan Indonesia, Amerika yang mengalokasikan 16% dari produk domestik bruto untuk belanja pengeluaran umum, China dan India masing-masing mengalokasikan 13%, serta Inggris mengalokasikan 20% (http://www.sinarharapan.co.id).
Survey Litbang Media Group 2007 menunjukkan buruknya pelayanan publik. 65% responden menunjukkan ketidakpuasannya atas layanan birokrasi dimana dalam layanan responden diminta biaya ekstra untuk layanan penerbitan dokumen tertentu. Hal ini dirasakan memberatkan masyarakat dan merupakan penyimpangan karena sebenarnya 70% anggaran negara sudah dikeluarkan untuk membiayai birokrasi. Hanya 9% (dalam 15 tahun terakhir) pengeluaran umum pemerintah untuk melayani rakyat. Berbeda dengan Indonesia, Amerika yang mengalokasikan 16% dari produk domestik bruto untuk belanja pengeluaran umum, China dan India masing-masing mengalokasikan 13%, serta Inggris mengalokasikan 20% (http://www.sinarharapan.co.id).
Dalam persepsi masyarakat umum, apabila berurusan dengan
birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.
Gambaran buruknya birokrasi antara lain berkutat pada permasalahan : organisasi
birokrasi gemuk dan kewenangan antarlembaga tumpang tindih; sistem, metode, dan
prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum
netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar;
koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin
dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Berbagai kondisi ini mengakibatkan
pelayanan kepada publik menjadi tidak memadai sehingga sering dikeluhkan oleh
masyarakat.
Permasalahan birokrasi terletak pada organ utamanya. Organ
utama birokrasi adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal yang paling mendasar
adalah kurang dipahaminya bahwa PNS adalah pelayan publik (abdi masyarakat) dan
masyarakat merupakan pelanggan yang harus dilayani secara maksimal. Sebagian
besar dana yang digunakan untuk membayar gaji PNS berasal dari masyarakat atau
publik sehingga wajar apabila masyarakat menuntut pelayanan prima dari aparat
pemerintahan. Kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda jauh dengan yang
seharusnya terjadi. Masyarakat yang harus melayani aparat pemerintahan untuk
mendapatkan pelayanan bukan aparat pemerintahan yang melayani masyarakat.
Masyarakat harus mengeluarkan segala daya dan upaya untuk melayani PNS agar
mendapatkan pelayanan yang diinginkan. Oleh karena itu muncul stigma yang
melekat pada birokrasi yaitu adanya prinsip "jika masih bisa dipersulit,
kenapa harus dipermudah" (http://www.kompas.com).
Isa Sofyan Ardin (2007) menilai kualitas pelayanan kepada masyarakat selama reformasi dirasakan semakin menurun dan buruk ditandai dengan lamanya waktu pengurusan dan biaya siluman yang semakin tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, penyedia pelayanan kepada masyarakat di beberapa instansi pemerintah secara terang-terangan dan tanpa rasa malu meminta sejumlah uang tertentu yang tidak rasional jumlahnya. Biaya tidak resmi besarnya mencapai 3-5 kali dari biaya resmi. Biaya tidak resmi tersebut menjadi daya tarik banyak orang yang berlomba-lomba (bahkan dengan membayar uang pelicin jutaan rupiah) untuk menjadi seorang PNS yang sebenarnya memiliki struktur gaji yang kecil. Alasan yang sering dilontarkan adalah memang gaji kecil tetapi "sabetannya" besar (http://www.kompas.com). Alasan inilah yang menjadi pemicu terjadinya korupsi di lingkungan kerj a instansi pemerintah.
Penyebab kinerja aparat pemerintahan buruk diantaranya adalah gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhannya. Zalbianis dan Sanusi (2006: 8) mengatakan bahwa hasil analisis data kualitatif yang berhubungan dengan take home pay dalam Penelitian Hubungan Besar Sisa Gaji yang Dibawa Pulang dan Komitmen Organisasi Dengan Ketidakhadiran Karyawan di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, diperoleh informasi bahwa alasan paling banyak penyebab mereka tidak masuk kantor adalah karena ada kerj a sampingan. Hal ini dilakukan karena gaji yang mereka terima atau dibawa pulang (take home pay) tidak cukup untuk kebutuhan setiap bulannya. Banyaknya ketidakhadiran pegawai ini menyebabkan pelayanan publik instansi pemerintah terganggu.
Isa Sofyan Ardin (2007) menilai kualitas pelayanan kepada masyarakat selama reformasi dirasakan semakin menurun dan buruk ditandai dengan lamanya waktu pengurusan dan biaya siluman yang semakin tinggi. Lebih memprihatinkan lagi, penyedia pelayanan kepada masyarakat di beberapa instansi pemerintah secara terang-terangan dan tanpa rasa malu meminta sejumlah uang tertentu yang tidak rasional jumlahnya. Biaya tidak resmi besarnya mencapai 3-5 kali dari biaya resmi. Biaya tidak resmi tersebut menjadi daya tarik banyak orang yang berlomba-lomba (bahkan dengan membayar uang pelicin jutaan rupiah) untuk menjadi seorang PNS yang sebenarnya memiliki struktur gaji yang kecil. Alasan yang sering dilontarkan adalah memang gaji kecil tetapi "sabetannya" besar (http://www.kompas.com). Alasan inilah yang menjadi pemicu terjadinya korupsi di lingkungan kerj a instansi pemerintah.
Penyebab kinerja aparat pemerintahan buruk diantaranya adalah gaji yang diperoleh tidak mencukupi kebutuhannya. Zalbianis dan Sanusi (2006: 8) mengatakan bahwa hasil analisis data kualitatif yang berhubungan dengan take home pay dalam Penelitian Hubungan Besar Sisa Gaji yang Dibawa Pulang dan Komitmen Organisasi Dengan Ketidakhadiran Karyawan di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, diperoleh informasi bahwa alasan paling banyak penyebab mereka tidak masuk kantor adalah karena ada kerj a sampingan. Hal ini dilakukan karena gaji yang mereka terima atau dibawa pulang (take home pay) tidak cukup untuk kebutuhan setiap bulannya. Banyaknya ketidakhadiran pegawai ini menyebabkan pelayanan publik instansi pemerintah terganggu.
Sebagaimana birokrasi pada umumnya, kualitas layanan di
Departemen Keuangan juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Salah satu instansi
yang bertugas memberikan pelayanan adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN). Layanan di KPPN sering dikeluhkan oleh para pihak yang menjadi
mitra KPPN. Persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik adalah
berbelit-belit, tidak transparan, adanya pungutan tidak resmi. Kualitas layanan
KPPN yang buruk ini sudah menjadi stigma bagi KPPN (Majalah Treasury, 2007).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Direktur Jenderal
Perbendaharaan Herry Purnomo mengakui stigma yang melekat pada KPPN yang buruk
selama ini. Herry Purnomo (2007) dalam suatu wawancara mengatakan bahwa mindset
yang dirasakan pada aparat KPPN dahulu adalah lebih dominan mindset untuk
dilayani bukan melayani. Indikasinya kalau tidak ada duit dia tidak akan
sungguh-sungguh atau secepatnya menyelesaikan pekerjaan. Kalau ada pemborong
datang ke KPPN langsung membagi-bagi duit kepada aparat bahkan sampai kepada
aparat yang tidak terlibat langsung dalam penyelesaian pekerjaan. Ada seorang
pejabat eselon III minta usul dipindahkan ke KPPN tertentu (di X) agar
mendapatkan "sangu/bekal pensiun".
Lambat, ketidakpastian dalam penyelesaian, prosedur yang tidak jelas, tidak transparan, penyelesaian berdasarkan pesanan dan persenan adalah stigma yang melekat pada KPPN selama ini. Pelayanan buruk ini sudah pasti akan membawa multiplier effect negative terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebagian dana APBN akan tidak mencapai sasaran pembangunan dan hilang dalam proses birokrasi yang buruk tadi.
Lambat, ketidakpastian dalam penyelesaian, prosedur yang tidak jelas, tidak transparan, penyelesaian berdasarkan pesanan dan persenan adalah stigma yang melekat pada KPPN selama ini. Pelayanan buruk ini sudah pasti akan membawa multiplier effect negative terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebagian dana APBN akan tidak mencapai sasaran pembangunan dan hilang dalam proses birokrasi yang buruk tadi.
Untuk mengatasi masalah pelayanan publik yang buruk ini maka
dilakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi mendesak untuk dilakukan
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah pada masyarakat.
Pemerintah telah menyiapkan delapan Undang-Undang untuk mengawal pelaksanaan
reformasi birokrasi di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang tentang Kementerian dan Kementerian Negara.
b. Undang-Undang tentang Pelayanan Publik.
c. Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan.
d. Undang-Undang tentang Etika Penyelenggara Negara.
e. Undang-Undang tentang Kepegawaian Negara.
f. Undang-Undang tentang Badan Layanan Umum/Nirlaba.
g. Undang-Undang tentang Pengawasan Nasional.
h. Undang-Undang tentang Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Peraturan perundangan yang disiapkan diatas yang telah
disahkan adalah UU No. 39/2008 tentang Kementerian dan Kementerian Negara. Saat
ini, juga sudah diterbitkan grand design reformasi birokrasi dalam bentuk
Peraturan Menpan No. 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, yang
merupakan cetak biru reformasi hingga tahun 2025 (http://www.menpan.go.id).
Gambaran umum mengenai reformasi yang tertuang dalam
Peraturan Menpan No. 15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi adalah
sebagai berikut :
a. Latar belakang reformasi birokrasi
1) Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini.
2) Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu memenuhi harapan publik.
3) Tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitas yang belum optimal dari birokrasi pemerintahan.
4) Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah.
5) Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah.
b. Visi dan Mi si Reformasi Birokrasi
Visi reformasi birokrasi adalah terciptanya tata kelola
pemerintahan yang baik tahun 2025.
Misi yang dijalankan untuk mencapai visi antara lain salah satunya adalah mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan si stem remunerasi.
c. Tujuan Reformasi Birokrasi
1) Tujuan Umum
Membangun/membentuk profil dan
perilaku aparatur negara dengan :
- integritas tinggi, produktivitas
tinggi dan bertanggung jawab kemampuan memberikan pelayanan yang prima
2) Tujuan Khusus
Membangun/membentuk :
- birokrasi yang bersih
- birokrasi yang efisien, efektif,
dan produktif
- birokrasi yang transparan
- birokrasi yang melayani masyarakat
- birokrasi yang akuntabel
d. Sasaran
Sasaran umum adalah mengubah pola pikir (mind set) dan
budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan. Sedangkan
secara khusus mencakup :
e. Prioritas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
e. Prioritas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi
1) Prioritas pertama, adalah kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, penegakan hukum, pemeriksaan dan pengawasan keuangan, dan penertiban aparatur negara.
2) Prioritas kedua, adalah kementerian/lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi, atau sumber penghasil penerimaan negara, dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung (termasuk pemerintah daerah).
3) Prioritas ketiga, adalah kementerian/lembaga yang tidak termasuk dalam prioritas pertama dan kedua.
Kerangka umum pelaksanaan birokrasi digambarkan pada gambar 1.1. sebagaimana tersebut di bawah ini.
Reformasi birokrasi di Departemen Keuangan digulirkan dalam
rangka pembenahan birokrasi secara utuh. Substansi dasar dari program reformasi
birokrasi adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik di instansi pengelola
keuangan negara ini sesuai harapan masyarakat. Sekretaris Jenderal Departemen
Keuangan Mulia P. Nasution (2007) mengatakan program reformasi birokrasi di
departemennya tidak hanya mencakup soal peningkatan kesejahteraan pegawai
tetapi juga mencakup upaya untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik.
Menurut Mulia (2007) substansi dasar dari program reformasi birokrasi adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik sesuai harapan masyarakat. Dalam program reformasi birokrasi, setiap elemen organisasi ditata, prosedur kerja diperbaiki, dan ukuran-ukuran keberhasilan kinerja diefektifkan. Di Departemen Keuangan diharapkan tidak ada lagi istilah business as usual. Yang dimaksud business as usual adalah berbagai ketidakdisiplinan pegawai departemen, misalnya ada yang ngobyek, ada yang datang telat, dan sebagainya. Sistem baru yang dibangun akan mempertegas mekanisme reward and punishment. Para aparat dinaikkan tunjangannya karena selama ini aparatnya merasa tidak dapat bekerja serius karena penghasilannya tidak memadai.
Dengan sistem reward yang diterapkan tidak diperbolehkan lagi persoalan penghasilan menjadi alasan buruknya kinerja. Dibandingkan dengan pegawai departemen/lembaga lain, pegawai Departemen Keuangan memperoleh penghasilan yang lebih memadai. Dengan pemberian remunerasi jika masih ada yang tidak disiplin dan profesional, akan ditindak tegas. (http://www.suarakarya-online.com).
Departemen Keuangan merupakan departemen yang strategis sebagai pengelola fiskal. Instansi ini memiliki kantor vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia dan bersifat holding type organization, dengan jumlah pegawai sekitar 60.000 orang. Terkait dengan reformasi birokrasi, Departemen Keuangan menjadi salah satu pilot project program refomrasi birokrasi dimana apabila program ini berhasil akan dikembangkan/diterapkan pola yang sama di departemen/lembaga pemerintah yang lain. Departemen Keuangan mulai melakukan reformasi birokrasi, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan dan Nomor 31/KMK.01/2007 tentang Pembentukan Tim Reformasi Birokrasi Pusat Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2007.
Program utama dalam reformasi birokrasi tahun 2007 antara lain meliputi empat poin, yaitu penataan organisasi, perbaikan business process, peningkatan manajemen SDM dan perbaikan remunerasi. Jadi perbaikan remunerasi merupakan sistem reward yang menjadi bagian dari program reformasi birokrasi.
Menurut Mulia (2007) substansi dasar dari program reformasi birokrasi adalah mewujudkan pelayanan yang lebih baik sesuai harapan masyarakat. Dalam program reformasi birokrasi, setiap elemen organisasi ditata, prosedur kerja diperbaiki, dan ukuran-ukuran keberhasilan kinerja diefektifkan. Di Departemen Keuangan diharapkan tidak ada lagi istilah business as usual. Yang dimaksud business as usual adalah berbagai ketidakdisiplinan pegawai departemen, misalnya ada yang ngobyek, ada yang datang telat, dan sebagainya. Sistem baru yang dibangun akan mempertegas mekanisme reward and punishment. Para aparat dinaikkan tunjangannya karena selama ini aparatnya merasa tidak dapat bekerja serius karena penghasilannya tidak memadai.
Dengan sistem reward yang diterapkan tidak diperbolehkan lagi persoalan penghasilan menjadi alasan buruknya kinerja. Dibandingkan dengan pegawai departemen/lembaga lain, pegawai Departemen Keuangan memperoleh penghasilan yang lebih memadai. Dengan pemberian remunerasi jika masih ada yang tidak disiplin dan profesional, akan ditindak tegas. (http://www.suarakarya-online.com).
Departemen Keuangan merupakan departemen yang strategis sebagai pengelola fiskal. Instansi ini memiliki kantor vertikal yang tersebar di seluruh Indonesia dan bersifat holding type organization, dengan jumlah pegawai sekitar 60.000 orang. Terkait dengan reformasi birokrasi, Departemen Keuangan menjadi salah satu pilot project program refomrasi birokrasi dimana apabila program ini berhasil akan dikembangkan/diterapkan pola yang sama di departemen/lembaga pemerintah yang lain. Departemen Keuangan mulai melakukan reformasi birokrasi, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007 tentang Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan dan Nomor 31/KMK.01/2007 tentang Pembentukan Tim Reformasi Birokrasi Pusat Departemen Keuangan Tahun Anggaran 2007.
Program utama dalam reformasi birokrasi tahun 2007 antara lain meliputi empat poin, yaitu penataan organisasi, perbaikan business process, peningkatan manajemen SDM dan perbaikan remunerasi. Jadi perbaikan remunerasi merupakan sistem reward yang menjadi bagian dari program reformasi birokrasi.
Sistem penggajian di Departemen Keuangan diberikan
sebagaimana sistem penggajian PNS pada umumnya yang berlaku di departemen/lembaga
negara yang lain. Tetapi pegawai Departemen Keuangan memperoleh tunjangan
khusus yaitu Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) yang diberikan
dengan pertimbangan :
a. Usaha peningkatan dan pengamanan penerimaan dan
pengeluaran negara.
b. Usaha preventif sekaligus sebagai imbangan atas tindakan
yang akan diambil guna menertibkan dan mendisiplinkan pegawai, sehingga
penyimpangan dalam bidang penerimaan dapat ditekan seminimal mungkin.
c. Agar pegawai dapat melaksnaakan tugas jabatannya dengan
keinsyafan sedalam-dalamnya dengan penuh rasa tanggung jawab serta dapat
memberikan prestasi kerja seoptimal mungkin.
d. Penertiban dan pembersihan aparatur Departemen Keuangan.
Sebagai tindak lanjut dari reformasi birokrasi, dilakukan perbaikan
struktur remunerasi melalui pemberian TKPKN. Dengan demikian, struktur
remunerasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Reformasi Birokrasi
Departemen Keuangan. Struktur remunerasi tersebut berbasis kinerja (performance
based remuneration) dan diberikan berdasarkan Job Grade (total terdapat 27
grade). Rincian grade dan besarnya tunjangan dapat dilihat pada tabel 1.3.
Diharapkan pemberian remunerasi pegawai Departemen Keuangan dalam reformasi
birokrasi ini akan meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan publik.
Adanya perkembangan modern dan tingkat persaingan yang cukup
tinggi membuat pelayanan baik oleh pemerintah dan swasta dituntut terus
memberikan sesuatu yang terbaik. Karyawan (pegawai) dapat bertahan dan ikut
serta membangun institusi dalam mengembangkan pelayanan lebih baik jika
diberikan sistem kompensasi yang memadai. Hasil survei Work Asia 2007/2008 yang
dilakukan oleh konsultan sumber daya manusia, Watson Wyatt, menunjukkan salah
satu pendorong utama engagement (keterikatan) karyawan, salah satunya adalah
faktor kompensasi dan benefit (Majalah Human Capital No. 11/Februari 2005).
Penelitian global tentang opini dan perilaku karyawan
tersebut dilakukan di 11 negara Asia Pasifik ini, termasuk Indonesia,
Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang, India, dan Australia. Penelitian
tersebut menunjukkan tiga faktor pendorong utama keterikatan (engagement)
karyawan di negara Asia Pasifik, yakni fokus kepada pelanggan (65%), kompensasi
dan benefit (50%), serta komunikasi (49%). Faktor tersebut merupakan hasil
opini karyawan yang menjadi partisipan dari riset ini. Lebih dari 6.500
responden, dimana mereka mewakili perusahaan yang minimal memiliki 250
karyawan.
Kondisi di Indonesia berdasarkan survai Work Indonesia terungkap bahwa tiga pendorong utama keterikatan karyawan di Indonesia adalah fokus kepada pelanggan (67%), komunikasi (43%) dan kompensasi & benefit (41%). Menurut Lilis Halim, karyawan di Indonesia merasa sudah memahami apa yang menjadi tugas dan pekerjaannya, serta melihat bahwa perusahaannya sudah mengutamakan fokus kepada pelanggan. Dijelaskan pula oleh Lilis Halim, tingkat engagement karyawan di Indonesia hampir sama dengan karyawan di negara tetangga, bahkan di Australia, China dan Hongkong dengan perbedaan tipis, Indonesia mencapai 64%, Australia 65%, China 67% dan Hongkong 68%. Namun, mayoritas karyawan di Indonesia rendah tingkat kepuasannya terhadap kompensasi dan benefit yang mereka terima dari perusahaan (51%) (Majalah Human Capital No. 11/Februari 2005).
Reformasi birokrasi mensyaratkan adanya penataan organisasi atau kelembagaan, perbaikan tata laksana, peningkatan sumber daya manusia (SDM), serta pembenahan sistem pengawasan. Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM yang diawali sejak rekrutmen, pembinaan karier, hingga pensiun. Berkaitan dengan hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberikan pernyataan untuk menanggapi pertanyaan pers yang mempertanyakan upaya reformasi birokrasi dikaitkan dengan remunerasi (www.depkeu.go.id):
"Upaya reformasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan menjadi tidak kontraproduktif apabila cara pandang terhadap program reformasi tidak hanya dikerdilkan dan dikaitkan semata dengan pemberian remunerasi".
Apakah dengan pemberian remunerasi profesionalisme dan kinerja PNS sebagai abdi masyarakat akan membaik? Inilah pertanyaan yang selalu dilontarkan pada Departemen Keuangan. Pertanyaan itu menguat kembali dengan adanya beberapa kasus tentang pelayanan yang belum optimal dan penangkapan oknum yang menyalah gunakan wewenang muncul di media massa.
Kondisi di Indonesia berdasarkan survai Work Indonesia terungkap bahwa tiga pendorong utama keterikatan karyawan di Indonesia adalah fokus kepada pelanggan (67%), komunikasi (43%) dan kompensasi & benefit (41%). Menurut Lilis Halim, karyawan di Indonesia merasa sudah memahami apa yang menjadi tugas dan pekerjaannya, serta melihat bahwa perusahaannya sudah mengutamakan fokus kepada pelanggan. Dijelaskan pula oleh Lilis Halim, tingkat engagement karyawan di Indonesia hampir sama dengan karyawan di negara tetangga, bahkan di Australia, China dan Hongkong dengan perbedaan tipis, Indonesia mencapai 64%, Australia 65%, China 67% dan Hongkong 68%. Namun, mayoritas karyawan di Indonesia rendah tingkat kepuasannya terhadap kompensasi dan benefit yang mereka terima dari perusahaan (51%) (Majalah Human Capital No. 11/Februari 2005).
Reformasi birokrasi mensyaratkan adanya penataan organisasi atau kelembagaan, perbaikan tata laksana, peningkatan sumber daya manusia (SDM), serta pembenahan sistem pengawasan. Perbaikan sistem remunerasi atau kesejahteraan adalah bagian dari manajemen SDM yang diawali sejak rekrutmen, pembinaan karier, hingga pensiun. Berkaitan dengan hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberikan pernyataan untuk menanggapi pertanyaan pers yang mempertanyakan upaya reformasi birokrasi dikaitkan dengan remunerasi (www.depkeu.go.id):
"Upaya reformasi yang dilakukan oleh Departemen Keuangan menjadi tidak kontraproduktif apabila cara pandang terhadap program reformasi tidak hanya dikerdilkan dan dikaitkan semata dengan pemberian remunerasi".
Apakah dengan pemberian remunerasi profesionalisme dan kinerja PNS sebagai abdi masyarakat akan membaik? Inilah pertanyaan yang selalu dilontarkan pada Departemen Keuangan. Pertanyaan itu menguat kembali dengan adanya beberapa kasus tentang pelayanan yang belum optimal dan penangkapan oknum yang menyalah gunakan wewenang muncul di media massa.
Salah satu instansi teknis di Departemen Keuangan yang
menjadi pelaksana layanan unggulan Departemen Keuangan dalam program reformasi
birokrasi adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) X. Sejak tanggal
30 Mi 2007, KPPN X ditetapkan menjadi KPPN Percontohan bersama 18 KPPN lainnya
di seluruh Indonesia untuk merepresentasikan layanan unggulan di Departemen
Keuangan. Instansi ini melayani kantor/instansi pemerintah lain dalam hal
pembayaran tagihan belanja negara guna melaksanakan tugas pemerintahan untuk
melayani masyarakat. KPPN Percontohan mengemban misi sebagai institusi
pelayanan yang memenuhi unsur : transparansi, cepat, tepat dan tanpa biaya.
1.2. Perumusan Masalah
Dengan adanya perbaikan penghasilan melalui pemberian
remunerasi diharapkan kualitas pelayanan di Departemen Keuangan khususnya KPPN
X meningkat. Dampak pemberian remunerasi terhadap perbaikan kualitas pelayanan
perlu dikaji lebih mendalam. Hal ini penting karena pemberian remunerasi berdampak
pada anggaran yang besar yang harus dikeluarkan pemerintah. Seluruh pegawai
Departemen Keuangan mulai 1 Juli 2007 menerima kenaikan tunjangan khusus
pembinaan keuangan negara (TKPKN) yang nilainya bervariasi, mulai dari
Rp1.330.000 per bulan untuk golongan terendah hingga Rp46,95 juta per bulan
untuk eselon satu tertentu. Biaya yang diperlukan untuk TKPKN ini diperkirakan
mencapai Rp4,3 triliun per tahun menurut seorang pejabat Departemen Keuangan
(Bisnis Indonesia, Jumat, 06 Juli 2007).
Selain itu keberhasilan reformasi yang disertai pemberian remunerasi ini akan menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk pelaksanaan reformasi bagi seluruh instansi pemerintah. Apabila rencana reformasi dijalankan di seluruh instansi pemerintah maka anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pemberian remunerasi akan lebih besar lagi.
Berdasarkan uraian di atas dirumuskan pokok permasalahan
yang akan dibahas sebagai berikut :
- Bagaimana pengaruh remunerasi terhadap kualitas pelayanan
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) X ?
1.3. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh remunerasi terhadap kualitas pelayanan KPPN Percontohan X. Selanjutnya penelitian ini akan menganalisis apakah pengaruh pemberian remunerasi tersebut terhadap kualitas pelayanan KPPN X signifikan atau tidak.
1.3.2. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini akan memberikan manfaat baik akademis maupun
praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik
terhadap teori remunerasi dan pelayanan publik. Penelitian ini dimaksudkan
untuk membuktikan kebenaran teori remunerasi dan pelayanan publik. Penelitian
ini dimungkinkan untuk menambah sudut pandang baru bagi teori tersebut.
b. Penelitian ini akan menguji kesesuaian antara teori
remunerasi dan pelayanan publik dengan praktek yang terjadi di lapangan.
Praktek di lapangan seringkali berbeda dengan teori yang ada sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada.
c. Penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu. Dengan
penelitian ini maka pembahasan terhadap teori remunerasi dan pelayanan publik
akan bertambah sehingga akan menambah referensi bagi kegiatan akademik.
Penelitian ini juga dapat menjadi pijakan untuk penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi
Departemen Keuangan untuk mengevaluasi pelaksanaan reformasi birokrasi yang
sedang berjalan.
b. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen/Lembaga di luar Departemen Keuangan untuk melaksanakan reformasi birokrasi.
b. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi Departemen/Lembaga di luar Departemen Keuangan untuk melaksanakan reformasi birokrasi.
1.4. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika penulisan
sebagai berikut :
Bab I PENDAHULUAN
Bab ini membahas latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian dan signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tinjauan pustaka atas teori administrasi
publik, penelitian terdahulu, konsep remunerasi, pelayanan, dan motivasi, model
analisis, hipotesis, dan operasionalisasi konsep.
Bab III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas pendekatan penelitian yang dipilih, jenis
penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, uji validitas dan
reabilitas, teknik analisis data dan keterbatasan penelitian.
Bab IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Bab ini menguraikan gambaran umum mengenai objek penelitian.
Bab V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Bab ini membahas hasil penelitian dibandingkan dengan
konsep-konsep yang menjadi acuan.
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan kesimpulan dan saran yang dapat
diberikan berdasarkan pembahasan hasil penelitian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar