Senin, 30 September 2013

Usulan Pemilu Bupati/Walikota Dilakukan DPRD, Perlu Pertimbangan Serius



Pengamat politik dari UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Partaonan Daulay mengingatkan, usulan Pemilu bupati/walikota dilakukan oleh DPRD atau secara langsung, perlu diperhatikan dan dipertimbangkan secara serius.

Pasalnya menurut Saleh, dari dua pilihan yang ada, masing-masing memiliki plus dan minus tersendiri. Dia menjelaskan, jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, yang paling banyak diuntungkan adalah partai-partai besar yang memiliki perwakilan yang banyak di DPRD.

"Karena suara mereka besar, maka mereka lah yang paling memungkinkan memenangkan setiap pemilihan," kata Saleh melalui siaran pers-nya yang diterima oleh wartawan di Jakarta, Sabtu (21/9) kemarin.

Selain itu, keuntungan jika pemilihan dilakukan oleh DPRD, katanya adalah bisa mengurangi 'cost politic' yang cukup besar. Serta tidak menelan waktu yang lama dalam pelaksanaannya. Sengketa Pilkada pun akan turun drastis, dan tugas Mahkamah Konstitusi (MK) pun jadi ringan.

"Dan jika pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, siapa pun memiliki kemungkinan dan potensi untuk menjadi kepala daerah. Bukan hanya kandidat dari partai-partai kecil, mereka yang bukan pengurus parpol pun bisa menempuh jalur independen," katanya.

Namun kelemahannya, jelas Saleh, sistem ini menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Selain untuk biaya penyelenggaraannya, 'political cost' yang harus dikeluarkan oleh kandidat juga sangat besar. Sebab mereka perlu menyiapkan anggaran untuk segala hal.

"Seperti atribut, kampanye, dan kegiatan sosial lain. Bahkan, tidak jarang para kandidat juga harus membayar langsung para pemilih agar bisa memenangkan pertarungan," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah ini.

Berdasarkan alasan di atas, Saleh menilai bahwa sepertinya pemilihan langsung untuk bupati/walikota belum tepat untuk dilakukan pada saat ini. Persoalan utama yang sesungguhnya, katanya, terlihat pada tingkat pendidikan masyarakat.

Sebab semua anggota masyarakat, dinilai belum bisa menggunakan hak pilihnya berdasarkan pilihan rasional dan bertanggung jawab. Sebagian besar di antara mereka, hanya menggunakan hak pilihnya karena emosional-temporal yang sarat dengan muatan pragmatisme.

"Tidak aneh, jika seseorang bisa secara langsung berpindah pilihan, hanya karena dibayar Rp50 ribu oleh seorang kandidat. Bagi pemilih, jumlah uang sebesar itu memang boleh dikatakan tergolong kecil," kata dia.

Namun dia mengingatkan, bagi kandidat jumlah itu sangat besar, karena harus dikalikan dengan jumlah pemilih. "Saya khawatir, setelah terpilih dia akan berusaha mengembalikan modal itu dengan berbagai cara, sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya sebagai kepala daerah," katanya.

Untuk diketahui, dalam pembahasan RUU Pilkada di parlemen, pihak pemerintah semula mengusulkan agar bupati/walikota dipilih melalui pemilu. Namun pemerintah telah berubah pikiran, dimana mereka kini menginginkan agar bupati/walikota dipilih oleh DPRD.

Tujuh fraksi di DPR berpandangan semua kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih melalui pemilu. Sedangkan tiga fraksi mendukung usul pemerintah, sebab pemilihan bupati/walikota oleh DPRD diyakini dapat menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat.

Selain itu Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta instansi pemerintah lainnya tidak akan terlalu banyak menghabiskan energi untuk mengawasi dan memantau jalannya Pilkada di 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.


 sumber : http://skalanews.com/berita/detail/155118/Usulan-Pemilu-BupatiWalikota-Dilakukan-DPRD-Perlu-Pertimbangan-Serius


Tidak ada komentar:

Posting Komentar