Kultur
Organisasi Google
Dua pendiri Google Larry Pagedan
Sergey Brim mengembangkan gagasan untuk perusahaan mereka di kamar asrama
mereka di Standford University. Saat ini, Google
merupakan mesin pencari terbesar di dunia. Penggunanya,
yang berjumlah 82 juta orang perbulan, memiliki akses ke lebih dari 8 juta
halaman Web. Lebih
dari 50 persen lalu lintas Google terjadi di luar Amerika Serikat. (Sekedar
catatan, googol adalah istilah
matematis untuk angka 1 yang diikuti 100 angka nol.)
Meskipun tumbuh pesat, Google
masih mempertahankan cara kerja seperti perusahaan kecil. Di kantor Googleplex
di Mountain View, California,“Googlers
(julukan karyawan Google penerj). Makan di café google yang lebih dikenal
dengan sebutan “Charlie’s Place”. Topik
pembicaraan mereka berkisar dari yang hal yang remeh sampai yang bersifat
teknis dan entah bahan diskusinya menyangkut permainan komputeratau enskripsi
atau peranti lunak penyaji iklan, bukan hal yang aneh untuk mendengar seseorang
berkata,
“itu produk yang saya bantu kembangkan sebelum saya ke Google.”
Kultur Google sangat informal. Googlers
bekerja secara berkelompok di tempat yang sangat padat, dengan tiga atau empat
staff berbagi tempat dengan sofa dan anjing. Hierarki
korparat hampir tidak kelihatan dan karyawan mengenakan pakaian yang tidak
seragam. Webmaster
internasional yang menciptakan logo liburan Google menghabiskan waktu seminggu
untuk menerjemahkan seluruh situs ke dalam bahasa koreakepala mekanik
operasinya juga seorang ahli bedah syaraf berlisensi.
Kebijakan perekrutan google lebih menekankan
kemampuan daripada staf yang mencerminkan audiens global yang dilayani oleh mesin pencari
tersebut. Google memiliki kantor-kantor di seluruh dunia dan pusat-pusat
rekayasa Google merekrut calon-calon berbakat di berbagai lokasi mulai dari
zurich sampai Bangalore. Lusinan bahasa digunakan oleh staf Goggle dari bahasa
Turki sampai bahasa Telugu. Pada saat tidak bekerja, Googlers
melakukan hobi mereka dari bersepeda lintas alam sampai mencicipi minuman
anggur, dan terbang sampai ke bermain Frisbee (Merek cakram plastic yang
dilempar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah permainan,penerj.). Reza
Behforooz, seorang teknisi peranti lunak Google berkomentar, “Google memiliki
lingkungan kerja yang sangat keren dan menyenangkan-dan kometmen yang kuat
terhadap keunggulan teknis sehingga kami dapat membangun produk-produk terbaik
guna membantu semua orang di seluruh dunia.”
Kultur Organisasi yang kuat sebagaimana dimiliki
Google memberi arah kepada perusahaan tersebut.Hal ini juga mengarahkan para
karyawan.Kultur organisasi yang kuat membantu mereka memahami “cara segala
sesuatu dilakukan di sini”.Kultur yang kuat juga memberikan stabilitas bagi
sebuah organisasi. Tetapi, bagi sebagian organisasi,kultur yang kuat bias
menjadi hambatan besar untuk berubah. Di bab ini, kita akan melihat bahwa
setiap organisasi memiliki sebuah kultur dan, bergantung pada kekuatannya,
kultur itu dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku
anggota organisasi.
Institusionalisasi:
Pelopor Kultur
Ide untuk memandang organisasi sebagai kultur-----
di mana terdapat sebuah system makna yang dimiliki bersama oleh para
anggotanya-----merupakan sebuah fenomena yang relative baru.Hingga pertrngahan
1980-an, organisasi, sebagaimana besarnya, dianggap sebagai sarana rasional
untuk mengoordinasi dan mengendalikan sekelompok orang.Dulu, organisasi
memiliki tingkatan-tingkatan vertical, berbagai departemen, hubungan
kewenangan, dan sebagainya.Tetapi kini, organisasi lebih dari pada itu.Kini,
organisasi juga memiliki kepribadian, suportif, inovatif ataupun konservatif.
Kantor General Electric dan orang-orang berbeda dengan kantor dan orang-orang
di General Mills. Havard dan MIT (Massachussettes Institute of
Technology,penerj.) bergerak di dunia bisnis yang sama----pendidikan----dan
hanya terpisah selebar Sungai Charles, tetapi masing-masing memiliki perasaan
dan karakter yang unik melampaui karakteristik structural. Para ahli teori
organisasi kini mengakui hal ini dengan mengenali peran penting yang dimainkan
oleh kultur dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Namun, yang menarik,
asal-usul kultur sebagai sebuah variable independen yang mempengaruhi sikap dan
perilaku seorang karyawan dapat ditelusuri ke belakang lebih dari 50 tahun lalu
ke gagasan tentang (institusionalisasi).
Ketika terlembagakan , suatu organisasi menjalani
kehidupannya terbukti terpisa dari para pendirinya atau anggota-anggotanya.
Ross perut mendirikan electronic Data system (EDS) pada awal 1960 an tetapi
meninggalkannya pada tahun 1987 untuk mendirikan sebuah perusahaan baru, sony,
Gillette, McDonalds, dan Disney adalah contoh-contoh organisasi yang tetap
eksis melampaui kehidupan para pendiri mereka ataupun anggota mereka, siapapun
ia.
Selain itu, begitu terlembagakan, sebuah organisasi
menjadi bernilai bagi dirinya, tidak hanya untuk barang atau jasa yang
diproduksinya.Organisasi mendapatkan mortalitasnya jika tujuan semulanya tidak
lagi relevan, organisasi tidak keluar dari bisnis, tetapi justru meredefinisi
dirinya. Contoh klasik adalah March of Dimes, semula organisasi ini di bentuk
untuk mendanai perjuangan melawan polisi ketika polio secara eksternal sudah
hilang sejak 1950-an, Maech of Dimes tidak gulung tikar, ia hanya
mendenefisikan sasarannya sebagai penyandang dana riset untuk mengurangi cacat
lahir dan menurunkan tingkat kematian bayi.
Institusionalisasi berooperasi untuk menghasilkan
pemahaman yang sama antara anggota tentang apa yang semestinya dan secara
fundamental, perilaku yang bermakna. Jadi ketika suatu organisasi menghadapi
kemampuan institusional, cara berprilaku yang dapat diterima menjadi sangat
jelas bagi anggota-anggotanya. Sebagaimana akan kita lihat,pada hakikatnya hal
yang sama inilah yang dilakukan oleh kultur organisasi. Maka, pemahaman
mengenai apa yang memnbentuk kultur organisasidan bagaimana kultur tersebut
diciptakan, dipertahankan, dan dipelajari akan meningkatkan kemapuan kita untuk
menjelaskan dan memprediksi perilaku orang di tempat kerja.
Definisi
Kiranya ada kesepakatan yang luas bahwa kultur organisasi
(organizational culture) mengacu pada sebuah sistem
makna
bersama yang di anut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lainya. Sistem makna
bersama ini, ketika dicermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik
kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.
Penelitian menunjukan bahwa ada tujuh karakteristik
utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi :
1.
Inovasi dan keberanian
mengambil resiko. Sejauh mana karyawan di dorong untuk bersikap inovatif dan
berani mengambil resiko.
2.
Perhatian
pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3.
Orientasi
hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4.
Orientasi
orang. Sejauh mana keputusan keputusan manejemen mempertimbangkan efek dari
hasil tersebut ats orang yang ada dalam organisasi.
5.
Orientasi
tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam tim ketimbang
individu-individu
6.
Keagresifan. Sejauh mana orang
bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai .
7.
Stabilitas.
Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo
dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada di suatu
kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi
berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh
mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap
pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana
segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan
berperilaku.
Kultur adalah
suatu istilah deskriptif
Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana
karyawan memahami karakteristik kultur suatu organisasi,
bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu
atau tidak, kultur organisasi adalah suatu istilah deskriptif. Ini penting
karena hal ini membedakan konsep ini dari konsep kepuasan kerja.
Penelitian mengenai kultur
organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka:
Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons
afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan Kerja berhubungan dengan bagaimana
karyawan merasakan ekspektasi organisasi, disangsikan lagi memiliki
karakteristik yang saling tumpang tindih, harus ingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat
deskriptif, sementara kepuasan kerja
bersifat evaluatif.
Apakah Organisasi
Memiliki Kultur yang Seragam?
Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama
dari para anggota organisasi. Ini menjadi jelas manakala kita mendefinisikan
kultur sebagai sebuah sistem makna bersama. Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu
yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak
sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dengan pengertian yang
serupa.
Namun, pengakuan bahwa kultur
organisasi memiliki pengertian yang sama tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan
adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Sebagian besar organisasi memiliki
kultur dominan dan banyak subkultur. Sebuah kultur dominan (dominant
culture) mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh
mayoritas anggota organisasi. Ketika berbicara tentang kultur sebuah
organisasi, kita merujuk pada kultur dominannya. Inilah pandangan makro
terhadap kultur yang memberikan kepribadian tersendiri pada sebuah organisasi. Subkultur (subculture) cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk
merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi oleh
para anggota. Berbagai subkultur ini mungkin muncul di tingkat departemen dan
disebabkan oleh faktor geografis. Departemen
pembelian, misalnya, dapat memiliki sebuah subkultur yang
memiliki sebuah subkultur yang dimiliki secara bersama-sama secara unik oleh
anggota-anggota departemen itu. Subkultur itu mencakup nilai-nilai inti (core
values) dari kultur dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik bagi anggota
departemen pembelian. Demikian pula, sebuah kantor atau unit organisasi yang
secara fisik terpisah dari kantor utama organisasi mungkin memiliki kepribadian
yang berbeda. Lagi-lagi, nilai inti tetap dipertahankan, tetapi dimodifikasi
untuk mencerminkan situasi unik dari unit terpisah itu.
Jika organisasi tidak memiliki
kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur
organisasi sebagai sebuah variable independen akan berkurang secara signifikan
karena tidak akan ada
keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku yang semestinya dan
perilaku yang tidak semestinya. Aspek “makna bersama” dan kultur inilah yang
menjadikannya sebagai alat potensial untuk membangun
dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya,
bahwa kultur Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan resiko. Dan
selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari
para eksekutif dan karyawan bahwa banyak organisasi juga memiliki berbagai
subkultur yang tidak diragukan bias memengaruhi perilaku anggota-anggotanya.
Kultur Kuat
versus Kultur Lemah
Membedakan kultur yang kuat dari kultur yang lemah
menjadi semakin popular dewasa ini. Argumennya di sini adalah bahwa kultur yang
kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih
berkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan.
Dalam kultur
yang kuat (strong culture),
nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Semakin
banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka
terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat kultur tersebut. Selaras dengan
definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku
anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi. Sebagai
contoh, Nordstrom yang bermarkas di Seattle telah mengambangkan salah satu
kultur layanan terkuat dalam industry ritel. Karyawan-karyawan Nrdstrom pasti
tahu apa yang diharapkan dari mereka dan harapan ini memntuk perilaku mereka.
Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat
adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan
kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang keharmonisan tujuan semacam ini membangun
kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada
gilirannya, memperkecil kecendurungan karyawan untuk meninggalkan organisasi.
Kultur versus
Formalisasi
Kultur organisasi yang kuat meningkatkan konsistensi
perilaku. Dalam pengertian ini, kita semestinya menyadari bahwa kultur yang
kuat dapat bertindak sebagai pengganti formalisasi.
Di bab sebelumnya, kita telah membahas bagaimana
aturan dan ketentuan formalisasi berfungsi mengatur perilaku karyawan.
Formalisasi yang tinggi dalam sebuah organisasi menciptakan prediktabilitas,
keteraturan dan konsistensi. Persoalan kita di sini adalah bahwa kultur yang
kuat mampu mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa perlu
dokumentasi tertulis. Karena itu, kita bias memandang formalisasi dan kultur
sebagai dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin kuat kultur
sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan manajemen untuk menyusun dan
menetapkan beragam aturan dan ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun
perilaku karyawan. Tuntunan itu akan diinternalisasikan dalam diri karyawan
ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut.
Kultur
Organisasi versus Kultur Nasional
Di sepanjang buku ini, kita memegang keyakinan bahwa
perbedaan Negara---yaitu, kultur nasional-----harus diperhitungkan ketika kita
mau membuat prediksi akurat mengenai perilaku organisasi di Negara yang
berbeda. Tetapi, apakah kultur nasional berada di atas kultur sebuah
organisasi? Apakah fasilitas IBM di Jerman, misalnya, lebih mungkin
mencerminkan kultur etnis Jerman atau kultur korporat IBM?
Penelitian menunjukkan bahwa kultur nasional
memiliki dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada kultur organisasi
mereka. Karena itu, karyawan yang berkebangsaan Jerman di sebuah fasilitas
milik IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh kultur Jerman daripada oleh
kultur IBM. ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan mempengaruhi
pembentukan perilaku karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih.
Kesimpulan sebelumnyaharus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual
yang muncul pada tahap perekrutan. Sebuah korporasi multinasional Inggris,
misalnya, kiranya tidak terlalu khawatir ketika merekrut orang yang “tipikal
Italia” untuk operasinya di Italia daripada merekrut seorang Italia yang sesuai
dengan cara peruasahaan menjalankan segala sesuatu. Karenanya kita bisa
berharap bahwa proses seleksi karyawan akan digunakan oleh perusahaan
multinasional tersebut untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai
dengan kultur dominan organisasi mereka, sekalipun pelamar seperti ini agak
atipikal (tidak lazim) untuk anggota negara mereka.
Fungsi-fungsi
Kultur
Kultur memiliki sejumlah fungsi
dalam sebuah organisasi. Pertama, kultur berperan sebagai penentu batas-batas;
artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi
dengan organisasi lainnya. Kedua, kultur memuat rasa identitas anggota
organisasi. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu
yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan
stabilitas sistem sosial. Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun
dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Peran kultur dalam mempengaruhi perilaku
karyawan menjadi semakin penting di tempat kerja saat ini. Tatkala organisasi
terus memperluas rentang kendali, meratakan struktur, memperkenalkan tim,
mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan bahwa
setiap orang dituntun ke arah yang sama.
Siapa yang diterima untuk bergabung
dalam organisasi, yang dinilai sebagai karyawan berkinerja tinggi, dan yang
mendapat promosi sangat dipengaruhi oleh “ketaatan” individu-organisasi.
Artinya, apakah sikap dan perilaku pelamar atau karyawan cocok dengan kultur
yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan
Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah
yang memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan
yang dapat mendukung citra itu. Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang
kuat, yang didukung oleh aturan dan ktentuan formal yang ada, memastikan bahwa
karyawan di taman hiburan Disney akan bertindak dengan cara yang relative
seragam dan dapat diprediksi.
Kultur sebagai Beban
Kami tidak
mengatakan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekedar mengatakan bahwa
kultur itu ada. Banyak dari fungsinya, seperti telah diuraikan, sangat bernilai
baik bagi organisasi maupun karyawan. kultur mempertinggi komitmen
organisasional dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawan. Ini jelas
merupakan keuntungan bagi organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur
bernilai karena mengurangi ambiguitas. Kultur memberi tahu karyawan bagaimana
segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Tetapi, kita tidak boleh
mengabaikan aspek-aspek kultur yang berpotensi disfungsional, terutama aspek
yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi.
Hambatan untuk Perubahan. Kultur menjadi kendali manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak
sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal
ini paling munglcin terjadi bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis.
Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat), kultur yang sudah kuat mengakar
dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku
menjadi aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan
lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semacam itu bisa menghambat dan
mempersulit organisasi untuk menanggapi perubahan yang terjadi di lingkungan.
Hal ini membantu menjelaskan tantangan-tantangan yang dihadapi para eksekutif
di organisasi-organisasi seperti Mitsubishi, Easfman Kodak, Boeing, dan Biro
Penyelidikan Federal (Federal Bureau of Inuestigation-FBl) AS belakangan ini
dalam menyesuaikan diri dengan-dinamika lingkungan mereka.
Organisasi-organisasi ini memiliki kultur kuat yang berhasil di masa silam.
Tetapi, kultur-kultur yang kuat ini menjadi hambatan untuk berubah ketika
“bisnis sebagaimana biasanya” tidak lagi efektif.
Hambatan bagi Keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin,
ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan
mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen
menginginkan karyawan baru tersebut menerima nilai-nilai inti dari kultur
organisasi. Jika tidak, karyawan-karyawan ini tidak mungkin cocok atau
diterima. Tetapi pada saat yang sama, manajemen ingin secara terbuka mengakui
dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan yang dibawa oleh karyawan-karyawan ini
ke tempat kerja.
Kultur yang kuat
memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan diri. kultur
tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Dalam beberapa
contoh, seperti kasus Texaco yang banyak dipublikasikan (yang diselesaikan atas
nama 1.400 karyawan dengan uang ganti rugi senilai 1,76 juta dolar) di mana
para manajer senior membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai
kelompok minoritas, sebuah kultur yang kuat yang menghidup-hidupkan prasangka
dapat memperlemah kebijakan formal keragaman korporat. Organisasi mencari dan
merekrut individu yang berbeda-beda karena kekuatan alternatif yang mereka bawa
ke tempat kerja. Namun, perilaku dan kekuatan yang beragam ini kiranya akan
berkurang didalam kultur organisasi yang kuat karena orang mau tidak mau harus
menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang kuat bisa menjadi kendala manakala
secara efektit meniadakan kekuatan-kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan
beragam latar belakang ke dalam organisasi. selain itu, kultur yang kuat juga
bisa menjadi penghambat ketjka mendukung bias institusional atau tidak sensitif
pada perbedaan orang.
Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor-faktor kunci yang diperhatikan
manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu
keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas
(kesesuaian) kultur juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau
lini produk yang menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal dari
perusahaan yang akan diakuisisi, apakah akuisisi tersebut benar-benar akan
berhasil tampaknya lebih terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua
organisasi tersebut.
Banyak akuisisi
yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan' Sebuah survei oleh konsultan
A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen merger gagal mencapai nilai sasaran
yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah
kultur orgagisasi yang saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar,
“Merger memiliki tingkat kegagalan yang saling tinggi, dan senantiasa
disebabkan oleh persoalan manusia” Sebagai contoh, merger senilai 183 miliar
dolar pada tahun 2001 antara America online (AOL) dari Time warner adalah yang
terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut berubah menjadi bencana-hanya
dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosot drastis sebesar 90 persen.
Benturan kultur umumnyl dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya
permasalahan di AoL Time warner' Sebalaimana dinyatakan seorang pakar. “Dalam
beberapa hal' merger AOL dan Time Warner adalah seperti pernikahan seorang
remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda.
Di AoL, orang menggunakan baju santai dan jins. Time Warner lebih konservatif
dalam hal pakaian.
Menciptakan dan Mempertahankan Kultur
Kultur sebuah
organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah
terhapuskan. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur?
Apa yang memperkuat dan menjaga kekuatan-kekuatan kultur ini begitu hal ini
mapan? Kita akan menemukan jawaban atas kedua pertanyaan ini di bagian berikutnya.
Mempertahankan Kelangsungan Hidup Kultur
Ketika suatu kultur
sudah terbentuk, dibutuhkan praktik-praktik di dalam organisasi yang berfungsi
memeliharanya dengan cara membuat karyawan memiliki pengalaman yang sama.
Sebagai contoh banyak praktik
pengembangan sumber daya manusia yang akan kita bahas di bab selanjutnya
merupakan upaya terkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria evaluasi
kinerja kegiatan pelatihan dan pengembangan dan prosedur promosi memastikan
bahwa mereka yang direkrut sesuai dengan
kultur yang ada memberi imbalan mereka yang
yang mendukungnya dan memberi sanksi. (dan bahkan mendepak) mereka yang
menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan peran sangat penting dalam mempertahankan sebuah kultur ; praktik
seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita amati
masing-masing secara lebih seksama.
Seleksi, tujuan eksplisit
dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut individu-individu yang
memiliki pengetahuan keterampilan dan kemampuan untuk berhasil menjalankan
pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang
memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal
tersebut terjadi, naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan akhir mengenai
siapa yang direkrut akan banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan
menyangkut seberapa cocok seorang calon dengan organisasi. Upaya untuk
memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak, menghasilkan rekrutan
yang memegang nilai-nilai yang pada intinya selaras dengan nilai-nilai
organisasi, atau paling tidak beberapa bagian dari nilai-nilai itu. Selain itu proses seleksi memberi informasi
kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belalar tentang
organisasi itu dan jika menemukan atau merasakan suatu pertentangan antara
nilai-nilai mereka dan nilai-nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur.
Karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan
pelamar membatalkan sebuah “perkawinan” jika tampak adanya ketidakcocokan.
Dengan cara demikian proses seleksi merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah organisasi dengan cara
mengeluarkan individu-individu yang mungkin tidak sesuai atau akan menggerogoti
nilai-nilai intinya.
Sebagai
contoh, W.L. Gore & Associates,
pembuat kain Gore-Tex yang digunakan untuk pakaian luar membanggakan kultur
organisasinya yang ditandai oleh demokrasi dan kerja sama tim. Tidak ada nama
jabatan di Gore dan tidak ada pula atasan ataupun rantai komando. Semua
pekerjaan dilakukan dalam tim. Dalam proses seleksinya tim-tim karyawan
mengharuskan pelamar kerja menjalani wawancara ekstensif untuk memastikan bahwa
calon yang tidak dapat menghadapi tingkat ketidakpastian, fleksibilitas, dan kerja
tim yang harus karyawan hadapi di pabrik-pabrik Gore akan terpental.
Manajemen puncak, tindakan
manajemen puncak juga memiliki dampak besar terhadap kultur organisasi. Melalui
apa yang mereka katakana dan bagaimana mereka berperilaku, para eksekutif
senior memantapkan norma-norma yang berlaku di organisasi terkait sejauh mana
pengambilan resiko di harapkan, seberapa banyak kebebasan yang para manajer
harus berikan pada karyawan mereka, pakaian apa yang pantas, tindakan apa yang
akan membuahkan hasil yang berupa kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lain.
Sosialisasi adalah proses yang mengadaptasikan
karyawan dengan kultur organisasi, tak peduli seberapa baik pekerjaan yang
dilakukan organisasi dalam melakukan perekrutan dan seleksi, karyawan baru
tidak sepenuhnya terindoktrinasi ke dalam kultur organisai. Karena belum
mengenal betul kultur organisasi tersebut, para karyawan itu berpotensi
mengganggu tradisi dan kebiasaan yang
ada. Karena itu organisasi membantu para karyawan baru utuk beradaptasi dengan
kulturnya. Proses adaptasi ini disebut sosialisasi. Saat kita berbicara tentang
sosialisasi ingatlah bahwa tahapan sosialisasi yang paling kritis adalah pada
saat masuk ke dalam organisasi. Pada saat inilah, organisasi
berusaha mencetak orang luar menjadi seorang karyawan dengan
reputasi baik. Karyawan yang gagal mempelajari perilaku yang esensial atau
penting beresiko “nonkonformis” atau “pembangkang”, yang mungkin akan membuat
tersingkir. Tetapi, organisasi akan melakukan sosialisasi kepada semua
karyawan, walau mungkin tidak secara eksplisit. Disepanjang kariernya di organisasi tersebut, cara
ini lebih jauh menyumbang untuk mempertahankan kultur. Sosialisasi dapat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tiga tahapan,
yaitu : prakedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis. Tahap
pertama mencakup semua pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota baru
bergabung dengan organisasi. Pada tahap kedua, karyawan baru melihat seperti
apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa antara harapan
dan kenyataan berbeda. Pada tahap ketiga, terjadi perubahan yang relative lama.
Proses
tiga tahap ini berdampak pada produktifitas kerja karyawan baru, komitmennya
terhadap sasaran
organisasi, dan keputusan akhirnya untuk tinggal bersama organisasi.
Tahap prakedatangan (prearrival stage) secara terbuka mengakui bahwa setiap individu
dating dengan sekumpullan nilai, siakp, dan harapan tertentu. Hal ini mencakup
pekerjaan yang akan dijalankan maupun organisasi. Sebagai contoh dalam banyak
pekerjaan, terutama pekerjaan professional, anggota-anggota baru harus
menjalani sosialisasi terlebih dahulu dalam pelatihan maupun di lembaga
pendidikan.Salah satu tujuan pokok dari sekolah bisnis, misalanya adalah untuk
mempekenalkan para mahasiswanya dengan sikap dan perilaku yang diinginkan
perushaan. Jika para eksekutif bisnis yakin bahwa karyawan yanga baik adalah
yang menghargai etika profit, loyal, sanggup bekerja keras, dan memiliki hasrat
tinggi untuk berprestasi, mereka akan merekrut lulusan sekolah bisnis yang
telah di bentuk sebelumnya dalam pola seperti ini. Salah satu hal penting dari
masa praperekrutan dalam usaha sosialisasi adalah memeilih karyawan dengan
“kepribadian yang pas”, dan menggunakan prose seleksi untuk memberi tahu calon
karyawan tentang organisasi tersebut secara keseluruhan. Selain itu, sebagaimana
dinyatakan di awal, proses seleksi juga berfungsi untuk memastikan masuknya
jenis yang tepat yang
kira-kira mereka sesuai dengan kemampuanya.
Tahap perjumpaan (encounter stage) di sini individu menghadapi kemungkinan dokotomi
antara harapan menyangkut pekerjaan, rekan kerja, atasan, dan oarganisasi
secara umum dan kenyataan.Jika harapan ternyata kurang lebih akurat, tahap
perjumpaan ini sekedar memberikan penegasan kembali mengenai presepsi yang
telah diperoleh sebelumnya.Namun yang terjadi sering kali tidak demikian.
Bilamana harapan dan kenyataan berbeda, karyawan baru harus menjalani
sosialisasi untuk melepaskan berbagai asumsi yang sebelumnya ia pegang dan
menggantikannya dengan sumsi-asumsi lain yang di pandang tepat oleh organisasi.
Seleksi yang benar semestinya memperkecil kemungkinan terjadinya pengunduran
diri sampai semaksimal mungkin.Para pendatang baru memiliki komitmen lebih
besar terhadap organisasi manakala mereka memiliki jaringan pertemanan yang
besar dan beragam.
Tahap metamorfosis (metamorphosis stage) seleksi secara
cermat oleh manajemen terhadap
pengalaman sosialisasi para pendatang baru dapat secara ekstrim menciptakan
kelompok konformis yang memepertahankan tradisi dan adat, atau kelompok
individualis inventif dan kreatif yang menganggap tidak ada praktik organisasi
yang sakral.
Kita dapat mengatakan bahwa proses metamorfosis
dan sosialisasi berhasil ketika anggota baru sudah merasa nyaman dengan
organisasi dan pekerjaan mereka. Mereka telah menginternalisasi berbagai norma organisasi
dan kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima norma-norma tersebut.
Anggota baru tersebut merasa di terima oleh rekan sejawat mereka sebagai
individu yang dapat dipercaya dan layak dihargai. Mereka percaya
diri bahwa mereka memiliki kompetensi untuk merampungkan
pekerjaan dan mereka memahami sistem tidak hanya
tugas mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-praktik yang
diterima secara informal. Akhirnya
mereka tahu bagaimana mereka akan dievaluasi, artinya kriteria apa yang
digunakan untuk mengukur dan menilai pekerjaan mereka. Metamorfosis yang
berhasil akan berdampak positif terhadap produktifitas
karyawan baru dan komitmen mereka terhadap organisasi serta mengurangi
kecenderungan mereka untuk meninggalkan organisasi.
Ritual
Ritual (rituals)
adalah serangkaian aktivitas berulang yang mengungkapkan dan memperkuat
nilai-nilai dasar dari organisasi sasaran apa yang terpenting, orang mana yang
penting, dan orang mana yang bisa dikeluarkan. Salah satu ritual perusahaan
yang terkenal adalah nyanyian perusahaan Wal-Mart. Diawali oleh pendirinya, Sam
Walton, sebagai cara untuk memotivasi dan menyatukan para pekerjanya, “Gimme a
W, gimme an L, gimme a squigle, gimme an M, A, R, T!” telah menjadi ritual
perusahaan yang mempersatukan karyawan Wai-Mart dan memperkuat keyakinan Sam
Walton terhadap pentingnya karyawan bagi kesuksesan perusahaannya. Nyanyian
serupa digunakan oleh IBM, Ericson, Novell, Deutsche Bank, dan
Pricewaterhouse-Coopers.
Bahasa
Banyak organisasi dan unit dalam suatu organisasi
menggunakan bahasa sebagai sarana untuk
mengidentifikasi anggota dari sebuah kultur atau subkultur. Dengan mempelajari
bahasa ini, para anggota menegaskan penerimaan mereka terhadap kultur dan,
dengan demikian, membantu melestarikannya. Berikut ini contoh-contoh teknologi
yang digunakan oleh para karyawan di Knight Ridder Information, sebuah
redistributor data yang bermarks di Calivornia: accesoris number(nomor yang dipakai untuk tiap catatan individu
dalam sebuah bisnis data); KWIC- Keywords-in-context
(sekumpulan kata kunci dalam konteks) dan relational
operator (mencari bisnis data untuk nama-nama atau istilah-istilah kunci
dalam suatu urutan). Jika merupakan karyawan baru di Boeing, anda akan belajar
banyak kosa kata khas perusahaan berupa akronim, termasuk BOLD-Boeing Online
Data (data online boeing), CATIA- graphics-aided three (dimensional interactive
application), aplikasi interaktif tiga dimensi dengan bantuan grafis
computer),MAIDS-manufacturing assembly and installation data system (system
data instalasi dan perakitan manufaktur), POP- purchased outside production
(membeli produk dari luar), dan SLO-service level objectives (sasaran tingkat
layanan).
Dari waktu ke waktu organisasi terus mengembangkan
istilah-istilah khas untuk menggambarkan perlengkapan, kantor, personalia
kunci, pemasok, pelanggan, atau produk yang terkait dengan bisnisnya. Karyawan
baru sering kerepotan dengan berbagai akronim dan jargon yang setelah enam
bulan bekerja sepenuhnya menjadi bagian dari bahasa mereka, begitu
terasimilasi, istilah-istilah ini menjadi denominator umum/bersama yang
menyatukan para anggota sebuah kultur atau subkultur tertentu.
Menciptakan
Kultur Organisasi yang Etis
Isi dan kekuatan suatu kultur memengaruhi suasana
etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah
organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar etika
tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah
sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada selain juga hasil. Para
manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk mengambil risiko dan berani
berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan
memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang
dicapai.
Kultur organisasi yang kuat akan lebih memengaruhi
karyawan dari pada kultur yang lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar
etika yang tinggi,ia pasti akan berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku
karyawan. Johnson dan Jhonson misalnya, memiliki kultur yang kuat yamg sudah
lama menekankan kewajiban perusahaan kepada pelanggan, karyawan, masyarakat,
dan para pemegang saham. Ketika Tylenol (sebuah produk Jhonson & Jhonson)
yang mengandung racun di jumpai di rak-rak took, karyawan J & J diselur AS
secara sadar dan suka rela menarik produk tersebut dari took bahkan sebelum
manajemen mengeluarkan pernyataan menyangkut hal itu. Tak seorang pun memberi
tahu orang-orang ini hal yang benar secara moral; mereka tahu apa yang
diharapkan oleh J & J untuk mereka lakukan. Sebaliknya, kultur kuat yang
mendorong sikap yang sangat agresif bisa menjadi factor yang dominan dalam
membentuk perilaku tidak etis. Sebagai contoh, kultur agresif Enron, dengan
tekanan yang tak henti-hentinya pada para eksekutif untuk meningkatkan
pendapatan secara cepat, mendorong dilanggarnya nilai-nilai etis dan akhirnya
berkontribusi terhadap runtuhnya perusahaan.
Apa
yang dapat manajemen lakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis?
Gabungan-gabungan dari praktik-praktik sebagai berikut;
·
Jadilah model peran yang visible. Karyawan akan
melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan
perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap
mengambil jalan yang etis, hal ini member pesan positif bagi semua karyawan.
·
Komunikasikan
harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat diminimalkan dengan
menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus
menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang
diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
·
Berikan
pelatihan etis. Selenggarakan
seminar, lokakarya, dan program-program pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi
pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan
praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilemma etika
yang mungkin muncul.
·
Secara nyata, berikan
penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak
etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi
hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik organisasi.
Penilaian harus mencakup srana yang dipakai untuk mencapai sasaran dan juga
pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus diberi
penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya,tindakan tidak
etis harus diganjar secara terbuka atau nyata.
·
Berikan
mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal
sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etikadan melaporkan
perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor
etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.
Menciptakan
Kultur Tanggap Pelanggan
Para paritel Prancis memiliki reputasi untuk sikap
masa bodohnya terhadap pelanggan. Para wiraniaga,
misalnya, tak jarang secara jelas-jelas memberitahu para pelanggan bahwa
percakapan telepon mereka tidak boleh disela. Meminta bantuan
dari wiraniaga saja sudah bisa menimbulkan masalah. Dan tak seorang pun di
Prancis yang terkejut kalau pemilik sebuah toko
di Paris mengeluh
bahwa ia tidak bisa menggarap buku-bukunya sepanjang pagi karena terus-menerus
diganggu oleh pelanggan.
Sebagian besar organisasi saat ini mencoba keras
untuk tidak seperti orang Prancis itu. Mereka berupaya menciptakan kultur yang
tanggap pelanggan karena mereka tahu bahwa inilah jalan untuk mendapatkan
loyalitas pelanggan dan profitabilitas jangka panjang. Banyak perusahaan yang
mencoba menciptakan kultur semacam ini, seperti Southwest Airliners, Fedex, J
& J, Nordstrom, Olive Garden, taman hiburan Walt Disney, Enterprise
Rent-A-Car, Whole Foods, dan L.L. Bean telah membangun basis pelanggan yang
kuat dan loyal pada umumnya mereka berhasil mengalahkan para pesaing mereka
dalam pertumbuhan pendapatan dan kinerja keuangan. Di bagian ini, kita secara
ringkas akan mengidentifikasi variable-variabel yang membentuk kultur tanggap
pelanggan serta memberikan beberapa saran yang dapat dijalankan oleh manajemen
untuk menciptakan kultur semacam ini.
Variabel-variabel
Kunci yang Membentuk Kultur tanggap Pelanggan
Sebuah
kajian menemukan bahwa beberapa variable secara rutin ditemukan dalam
kultur-kultur yang tanggap pelanggan.
1.
Jenis
karyawan itu sendiri
2.
Tingkat
formalisasi yang rendah
3.
Penguatan
sistem formalisasi yang luas
4.
Keterampilan
mendengarkan yang baik
5.
Kejelasan
peran
Ringkasnya
kultur tanggap pelanggan merekrut karyawan-karyawan yang memiliki keterampilan
mendengarkan yang baik dan kesediaan untuk mengatasi kendala-kendala pekerjaan
mereka dan untuk melakukan apa yang diperlukan guna memuaskan palanggan.
Tindakan
Manajerial
Ada
beberapa tindakan yang diambil manajemen untuk membentuk karyawan yang memiliki
kompetensi, kemampuan, dan kemauan untuk memecahkan masalah pelanggan pada saat
masalah itu muncul :
1.
Seleksi
Calon calon pekerja harus disaring sehingga orang
orang yang direkrut memiliki kesabaran, kepedulian terhadap orang lain,
keterampilan mendengarkan yang menyertai karyawan yang berorientasi pelanggan.
2.
Pelatihan
dan Sosialisasi
Kandungan program pelatihan dan sosialisasi ini akan
sangat bervariasi tetapi harus terfokus pada peningkatan pengetahuan akan
produk, mendengarkan secara efektif, menunjukan kesabaran.
3.
Desain
Struktur
Manajemen perlu membebaskan karyawan untuk
menyesuaikan perilaku mereka dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang
senantiasa berubah.
4.
Pemberdayaan
Hal ini merupakan komponen wajib dari kultur tanggap
pelanggan karena memungkinkan karyawan membuat keputusan seketika untuk
memuaskan pelanggan.
5.
Kepemimpinan
Pemimpin yang efektif dalam kultur tanggap pelanggan
memberikan dengan menyampaikan sebuah misi yang berfokus pada pelanggan dan
yang memperlihatkan dengan perilaku
mereka bahwa mereka memiliki komitmen terhadap pelanggan.
6.
Evaluasi
Kinerja
Evaluasi ini menilai karyawan berdasarkan bagaimana
mereka berperilaku atau bertindak berdasarkan kriteria seperti upaya, komitmen,
kerja tim, keramahan dan kemampuan memecahkan masalah pelanggan ketimbang
berdasarkan hasil terukur yang mereka capai.
7.
Sistem
Imbalan
Manajemen
perlu memberikan penghargaan kepada karyawan yang menunjukan upaya luar biasa
untuk menyenangkan pelanggan dan yang telah dipilih pelanggan atas layanan
lebihnya.
Spiritualitas
dan Kultur Organisasi
1.
Apa
Spiritualitas itu?
Adalah menyadari bahwa manusia memiliki kehidupan
batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsung
dalam konteks komunitas.
2.
Mengapa
Spiritualitas?
Model-model
historis dari manajemen dan perilaku organisasi pada masa lalu tidak memiliki
ruang bagi spiritualitas. Sebagaimana telah kita singgung dalam pembahasan
tentang emosi di bab 8, mitos tentang rasionalitas beranggapan bahwa organisasi
yang dijalankan dengan baik adalah yang menafikan perasaan. Demikian pula,
kepedulian terhadap kehidupan batin karyawan tidak memiliki peran dalam model
yang sepenuhnya rasional. Tetapi bila kita sekarang menyadari bahwa studi tentang
emosi memperbaiki pemahaman kita terhadap perilaku organisasi, kesadaran akan
spiritualitas dapat membantu Anda memahami perilaku karyawan pada abad ke-21
secara lebih baik.
Alasan
Tumbuhnya Minat terhadap Spiritualitas:
·
Sebagai
penyeimbang terhadap tekanan dan ketegangan dari dinamika kehidupan yang tidak
beraturan.
·
Agama
formal tidak lagi berfungsi untuk banyak orang serta mereka terus mencari
“pelabuhan” yang dapat menggantikan ketiadaan iman dan mengisi rasa kehampaan
yang muncul.
·
Tuntutan
kerja telah membuat tempat kerja jadi dominan dalam kehidupan banyak orang,
namun mereka terus mempertanyakan makna kerja itu sendiri.
·
Hasrat
untuk mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan pribadi dalam kehidupan
profesional seseorang.
·
Semakin
banyak orang yang menemukan bahwa mengejar sesuatu yang lebih bersifat material
membuat mereka tidak puas.
Karakteristik
sebuah Organisasi Spiritual
1.
Kesadaran
akan tujuan yang kuat.
Organisasi
spiritual mendasarkan kultur mereka pada suatu tujuan yang bermakna. Meskipun
penting, laba bukanlah nilai utama organisasi.Orang dapat terilhami oleh tujuan
yang mereka yakini penting dan bermakna.
2.
Fokus
terhadap pengembangan individual.
Organisasi
spiritual menyadari makna dan nilai setiap manusia.Mereka tidak hanya
menyediakan pekerjaan. Mereka mencoba menciptakan kultur dimana karyawan dapat
terus belajar dan tumbuh.
3. Kepercayaan dan
respek.
Organisasi
spiritual dicirikan oleh tumbuhnya sikap saling percaya, jujur, dan
terbuka.Para manajer tidak takut mengakui kesalahan. Presiden Wetherill
Associates, sebuah perusahaan distribusi suku cadang mobil yang sangat sukses,
mengatakan “Kami tidak berbohong disini dan setiap orang mengetahuinya. Kami
spesifik dan jujur dengan kualitas dan kesesuaian produk dengan kebutuhan
pelanggan kami, sekalipun kami tahu mereka mungkin tidak mampu mendeteksi
masalahnya.”
4.
Praktik
kerja yang manusiawi.
Praktik-praktik
yang dianut oleh organisasi spiritual ini meliputi jadwal kerja yang fleksibel,
imbalan berbasis kelompok dan oganisasi, penyempitan kesenjangan gaji dan
status, jaminan hak-hak pekerja, pemberdayaan karyawan, dan keamanan
kerja.Hewlett-Packard, misalnya, telah menangani penurunan temporer melalui
atrisi sukarela dan memperpendek minggu kerja (oleh semuanya), serta penurunan
berjangka lebih lama melalui pensiun dini dan pengambilalihan (buyouts).
5.
Toleransi
bagi ekspresi karyawan.
Organisasi
spiritual tidak menekan sisi emosional karyawan.Mereka memberi ruang bagi
karyawan untuk menjadi diri mereka sendiri - untuk mengutarakan suasana hati
dan perasaan mereka.
Bagaimana Kultur
Organisasi Berdampak terhadap Kinerja dan Kepuasan Karyawan
Bagan
di atas mengilustrasikan kultur organisasi sebagai sebuah variabel sementara.
Para karyawan membentuk persepsi subjektif
yang utuh tentang organisasi berdasarkan faktor-faktor seperti tingkat
toleransi terhadap resiko, penekanan pada tim, dan dukungan orang. Persepsi
ini, pada dasarnya, lalu menyusun kultur atau kepribadian organisasi.
Persepsi-persepsi yang baik ataupun yang tidak selanjutnya mempengaruhi kinerja
dan kepuasan karyawan, dengan dampak yang semakin besar dengan semakin kuatnya
kultur.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar