Demokrasi Definisi dan Aplikasi
Asal
kata demokrasi dari bahasa latin, Yunani, bermakna sistem pemerintahan agresif
dan tidak stabil cenderung mengarah pada tirani. Sehingga para filsuf seperti Plato sekalipun
tidak terlalu antusias mendukung ide demokrasi yang diambil dari akar kata, demos (rakyat) dan –kratein (memerintah), karena sangat tidak mungkin menciptakan
pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat tanpa menimbulkan konflik. Pemerintahan mengacu pada kehendak rakyat
dikatakan sebagai bentuk demokrasi tradisional atau klasik.
Dalam
Capitalism, Socialism, and Democracy,
Schumpeter mengatakan kekurangan
teori demokrasi klasik tersebut yang selalu menghubungkan antara kehendak
rakyat (the will of the people) dan
sumber serta bertujuan demi kebaikan bersama (the common good). Schumpeter
kemudian mengusulkan “teori lain mengenai demokrasi” atau “metode demokrasi”
memaknai demokrasi dari sudut prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan
politik yand di dalamnya setiap individu memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan melalui perjuangan kompetititf dalam rangka memperoleh dukungan
berupa suara rakyat. Demokrasi pada
taraf metode tidak melibatkan unsur emosi lagi, akan tetapi lebih menekankan
pada akal sehat.
Konsep
demokrasi telah mengalami perkembangan sejak definisi empirik Schumpeter
dikemukakan, perdebatan akademis seputar demokrasi melahirkan definisi konsep
paling beragam dalam ranah akademis.
Berbagai studi mengenai demokrasi dalam ilmu politik dan sosiologi
cenderung untuk menilainya dari sudut pandang berbeda-beda. Demokrasi tidak memiliki tolak ukuran pasti
dalam pengukurannya karena membutuhkan konsensus baik dalam lingkup publik
maupun akademik sekalipun. Sebagai contoh, pemerintahan Amerika Serikat yang
memiliki agenda utama dalam mempromosikan demokrasi dalam kebijakan luar
negerinyapun ternyata belum memiliki kesepakatan tentang makna demokrasi.
Karena itulah demokrasi masih menimbulkan perdebatan terutama dalam
penerapannya di negara-negara berkembang.
Menurut
Donald Horowitz (2006), “the world’s
only superpower is rhetorically and militarily promoting a political system
that remains undefined-and it is staking its credibility and treasure on the
pursuit,” (negara superpower satu-satunya di dunia secara retorik dan
militeristik mempromosikan sistem politik yang tetap tidak terdefinisikan
sampai saat ini-dan hal tersebut mempertaruhkan kredibilitas dan sumber daya
teramat berharga demi mencapai maksudnya).
Sehingga, pengertian demokrasi di berbagai belahan dunia merujuk pada
penegakkan demokrasi di Amerika Serikat mengalami distorsi makna. Demokrasi dapat dipertukarkan dengan
pengertian sangat sempit semisal voting atau pemilihan umum semata, padahal
demokrasi sebagai suatu konsep memiliki pengertian lebih luas. Karena pencitraan demokrasi di AS sedemikian absurd-nya sehingga dikatakan bahwa
demokrasi merupakan instrumen penekan negara-negara Eropa Barat dan AS terhadap
negara-negara lainnya di dunia, maka perlu didefinisikan kembali karakteristik
dari demokrasi.
Demokrasi
sering dipertukar-maknakan dengan kebebasan, sehingga dapat dipergunakan
keduanya sekaligus. Demokrasi bisa
dilihat sebagai satu perangkat praktek dan prinsip yang sudah dilembagakan dan
selanjutnya melindungi kebebasan itu sendiri.
Demokrasi semestinya melibatkan konsensus di dalamnya, namun secara
minimal persyaratan demokrasi terdiri dari: pemerintahan yang dipilih dari
suara mayoritas dan memerintah berdasarkan persetujuan masyarakat, keberadaan
pemilihan umum yang bebas dan adil, proteksi terhadap kaum minoritas dan hak
asasi dasar manusia, persamaan perlakuan di mata hukum, proses pengadilan dan
pluralisme politik. Karakteristik dasar
demokrasi seperti telah disebutkan di atas membukakan pandangan bahwa inti dari
demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah.
Artinya demokrasi tidak hanya sekedar melibatkan kebebasan masyarakat dalam
sistem politik, akan tetapi lebih dari itu sampai dengan tata cara melibatkan
rakyat dalam demokrasi.
Beberapa
pihak mengatakan bahwa demokrasi hanya memberikan dikotomi antara negara
demokrasi dan bukan demokrasi, padahal ukuran demokrasi amatlah beragam seperti
halnya ukuran dikemukakan oleh organisasi pemeringkat demokrasi berpusat di AS,
Freedom House, dengan indeks
rata-rata, skala berkisar antara 1 sampai 7, mulai dari:
- Political freedom atau kebebasan politik (10 indikator),
- Civil liberties atau kemerdekaan warga negara (15 indikator), seringkali dijadikan acuan dalam mengukur demokrasi.
Selain
itu Freedom House memiliki konsep
sempit mengenai electoral democracy, yaitu
demokrasi dalam arti sangat minimal paling tidak memiliki karakteristik:
- Sistem politik multi-partai kompetitif,
- Hak pilih setara bagi orang dewasa,
- Pemilihan umum dilaksanakan secara reguler, dijamin dengan pemberian suara secara rahasia, terjamin keamanannya, dan absennya kecurangan suara pada pemilu,
- Akses publik terhadap partai politik besar sampai ke pemilihnya sangat terbuka melalui media dan melalui kampanye terbuka.
Sedangkan
definisi political freedom lebih luas
daripada electoral democracy, yaitu
mengukur proses pemilihan umum dan pluralisme politik, sampai bagaimana
memfungsikan pemerintah dan beberapa aspek dari partisipasi. Political freedom akan memberikan warna pada
tingkat kesuksesan demokrasi di berbagai tempat, sehingga tidak ada demokrasi
di satu negarapun dapat disamakan dengan negara lain.
Perbedaan
kedua ukuran dari lembaga tersebut menimbulkan konsep thin atau minimalist dan thick atau wider tentang demokrasi. Sehingga definisi demokrasi lebih luas
harus memperhitungkan aspek kondisi masyarakat dan budaya politik dari
masyarakat demokratis. Definisi sempit
tersebut lebih merupakan pengembangan dari konsep Robert Dahl (1970) tentang polyarchy, dengan 8 ciri:
- hampir semua warga negara dewasa memiliki hak pilih,
- hampir semua warga negara dewasa dapat menduduki kantor publik,
- pemimpin politik dapat berkompetisi untuk memperebutkan suara,
- pemilihan umum harus bebas dan fair,
- semua penduduk memiliki kebebasan utuk membentuk dan bergabung dalam partai politik dan organisasi lainnya,
- semua penduduk dapat memiliki kebebasan mengekspresikan pendapat politiknya,
- informasi mengenai politik banyak tersedia dan dijamin ketersediannya oleh hukum, dan
- kebijakan pemerintah bergantung pada suara dan pilihan-pihan lain.
Sehingga
suatu negara sudah dapat dikatakan demokratis apabila memiliki karakteristik:
- Pemerintahan sipil yang dipilih secara bebas, jujur, dan adil dalam pemilu,
- Perwakilan yang representatif,
- Publik yang bertangung jawab dan dijamin kebebasannya dalam peraturan perundangan.
Menurut
Gabriel Almond (1999), partisipasi politik diawali oleh adanya artikulasi
kepentingan dimana seorang individu mampu mengontrol sumber daya politik
seperti halnya seorang pemimpin partai politik atau seorang dictator
militer. Peran mereka sebagai aggregator
politik (penggalang/penyatu dukungan) akan sangat menentukan bagi bentuk
partisipasi politik selanjutnya.
Bangsa
besar memiliki bangunan organisasi yang telah terspesialisasi dalam menyalurkan
bentuk agregasi politik berikut kebijakan terkait menghasilkan partai politik.
Oleh
karena itu partisipasi politik menurut Gabriel Almond (1999) terbagi ke dalam 3
kategori seperti ilustrasi berikut ini:
Ilustrasi 1:
Partisipasi Politik Almond
Sumber:
Almond (1999)
Sedangkan
Huntington dan Nelson mengatakan bahwa tidak ada bentuk partisipasi politik
yang digambarkan sebagai “No Easy Choice,” membaginya menjadi 2 macam
partisipasi:
- Otonom (autonomous participation)
- Mobilisasi (mobilized participation)
Mereka
mengatakan bahwa keterasingan seseorang dalam partisipasi politik yang
disebabkan oleh rasa apatis (ketidakpedulian) dapat menyebabkan alienasi
(keterasingan) politik.
David
F. Roth dan Frank L. Wilson (1980) menstrukturkan partisipasi politik ke dalam
piramida partisipasi sebagaimana ilustrasi berikut:
Ilustrasi 2: Piramida Partisipasi Politik
Roth dan Wilson
Sumber: Budiardjo (1998)
Bentuk
umum dari partisipasi politik adalah pemberian suara pada saat pemilihan umum
(pemilu). Bentuk partisipasi politik
paling minim seperti ini dapat dijumpai pada sistem politik demokratik sampai
paling otoritarian sekalipun.
Adapun
bentuk-bentuk partisipasi politik yang ada pada sistem politik terbagi menjadi
level atau derajat pemberian partisipasi seperti tergambar pada tebel berikut:
Tabel 1. Bentuk dan Derajat Partisipasi
Politik Almond
BENTUK
|
RUANG LINGKUP
|
DERAJAT
|
Voting (pemberian suara)
|
Luas, keputusan pemerintah
|
Sedang
|
Informal Group (kelompok informal)
Social Movement (pergerakan sosial)
|
Aktivitas kolektif, kebijakan umum
|
Tinggi
|
Direct Contact (kontak langsung)
|
Spesifik, urusan personal/pribadi
|
Rendah
|
Protest Activity (aktivitas protes)
|
Ekspresif, urusan spesifik
|
Tinggi
|
Sumber: Almond (1999)
DAN SETERUSNYA ............................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar