BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi yang ada saat ini membuka peluang
untuk terbukanya pasar bebas lintas antar negara. Masing-masing negara memiliki
peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam negeri, baik dari segi
infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi dibarengi dengan kemajuan
teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga
membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun semakin
mudah untuk diakses.
Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar
negara pada era globalisasi ini menyebabkan meningkatnya pula mobilitas barang
dan manusia antar satu negara ke negara lain. Dalam memenuhi
kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses
ke dalam ruang lingkup batasan negara. Masing-masing individu juga dengan
mudah melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai
kepentingan. Dengan fenomena ini, berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga
keamanan dan stabilitas negara, seperti menetapkan peraturan-peraturan tentang
keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-lubang hitma yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal demi kepentingan pribadi.
Era globalisasi kemudian memunculkan potensi
untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan
yang mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.
Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai
perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar
sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir
dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan
istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara,
bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut. Pelbagai
penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya
(sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak
kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya
masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang
bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian
dipertanyakan sebab-musabab munculnya terkait dengan praktek kejahatan
antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
kejahatan transnasional “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di
negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional.
Indonesia sebagai
salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya
praktek kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional bukan hanya
didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya
penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri.
Indonesia yang bentuk negaranya
adalah kepuluan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara,
pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki
garais pantai yang sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada
posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang
menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional.
Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk
Indonesia yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara
yang memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk
perkembangan pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia
dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya
manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik
dan diplomatik.
Besarnya potensi terjadinya kejahatan
transnasional di Indonesia ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat
perhatian. Dengan demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-masalah
yang terkait dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Semakin
besarnya akses lintas negara membuka peluang besar pula terhadap terjadinya
tindakan kejahatan yang melanggar peraturan perudang-undangan. Masalah dari
suatu negara bisa menjadi masalah bagi negara lain karena banyak faktor yang
menyebabkannya.
Dalam
makalah ini akan dibahas salah satu masalah kejahatan transnasional yang perlu
mendapat perhatian dari kebijakan yang ada di Indonesia, yaitu penyelundupan
orang atau people smuggling.
Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang
singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke
Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu
masalah yang cukup serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people
smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang
signifikan bagi bangsa ini. Maka dari itu, berangkat dari masalah people
smuggling ini penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut:
- Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia?
- Bagaimanakah kebijakan yang telah disusun di Indonesia terhadap masalah people smuggling tersebut serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap?
- Apa saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people smuggling?
C.
Tujuan
Tujuan
pertama pembuatan makalah ini adalah memaparkan dan menjelaskan dengan jelas
latar belakang yang menyebabkan terjadinya praktek penyelundupan orang sehingga
menimbulkan masalah bagi Indonesia. Yang kedua adalah melihat dan menilai
kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah dalam usahanya mengatasi
masalah people smuggling. Yang terkahir adalah menyajikan solusi dan
saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam menghadapi masalah
yang dimaksud guna untuk mengoreksi kebijakan yang telah ada.
D.
Manfaat
Manfaat
yang dapat diberikan dari pembuatan makalah ini adalah dapat mengetahui dan
melihat masalah people smuggling secara mendalam, mulai dari latar
belakang terjadinya masalah tersebut hingga usaha-usaha apa saja yang telah
dilakukan untuk mengatasinya. Makalah ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran dan kritik terhadap berbagai
langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan dalam menghadapi masalah people
smuggling. Selain itu, makalah ini juga dipersembahkan sebagai sumbangsih
bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang studi kejahatan, khususnya dalam
bidang kebijakan kriminal dan kejahatan transnasional.
BAB
II
ISI
DAN PEMBAHASAN
A.
Permasalahan People Smuggling
Migrasi
bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah melakukan
perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang
lain. Dalam beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan
faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri.
Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke
Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara (http://www.interpol.int/). Berangkat dari
fenomena ini lah kemudian muncul praktek penyimpangan, yaitu melakukan aksi
untuk memindahkan manusia ke negara-negara tujuan secara ilegal karena batasan
dan ketidakmampuan dari para imigran dalam memenuhi syarat sebagai imigran
resmi.
People
smuggling adalah
sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara
jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan.
Telah diakui bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan
melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer. Para imigran
diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan yang tidak
manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan sesak, dan
bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status
ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang
memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para
imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan
materil (Ibid).
People
smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang
sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan
keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta dolar. Berdasarkan perkiraan
tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima
hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar
negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa
penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah
sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark
Miller, 2000: 969). Selain itu, people smuggling juga menimbulkan
masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga
melanda negara Indonesia.
Pada
bulan Oktober dan November 2009 lalu, aparat keamanan Republik Indonesia
menangkap serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena
memasuki wilayah Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober
2009 lalu, sebanyak 255 imigran asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut
barang, ditangkap di perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November
2009, giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan,
Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada awalnya Pemerintah memperlakukan para
imigran dengan baik dengan alasan menyunjung Hak Asasi Manusia. Namun kemudian
muncul pertanyaan sampai kapan perhatian itu harus diberikan; merelakan para
imigran sebagai tanggungan negara Indonesia menjadi masalah tersendiri yang
dihadapi oleh Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Provinsi Banten (http://female.kompas.com,
23 November 2009).
Penjelasan
di atas adalah salah satu contoh kasus tentang penyelundupan orang yang terjadi
di Indonesia. Banyak para imigran gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan
ke Australia, melewati perairan Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya.
Namun demikian, maraknya kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi
oleh aparat keamanan ternyata dapat terjadi dengan adanya kontribusi dari orang
Indonesia sendiri. Salah satunya adalah nelayan-nelayan Indonesia yang
dilibatkan dalam usaha menyelundupkan para imigran tersebut dengan
diming-imingi sejumlah uang (Berita Nasional, http://vibizdaily.com/, 25 Juli 2010).
Dalam pemberitaan yang lain, dalam kasus 74 imigran gelap asal Iran dan
Afganistan di Yogyakarta, juga melibatkan para nelayan (http://liranews.com/,
18 Oktober 2010).
Masalah
penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya
para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di
perbatasan wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk
ke negara Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini
malah negara Indonesia yang menjadi tujuan utama.
Praktek
penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa
dekade terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi
tidak resmi terus meningkat di berbagai negara. People smuggling umumnya
dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan
untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang
untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan
juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut
laporan yang dimuat di website Organisasi Polisi Internasional
(Interpol), pada tahun 2006 hampir 31.000 imigran, setengahnya berasal dari
Senegal, berbondong-bondong bergerak menuju kepulauan Canary, Spanyol. Para
imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu dalam
perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian jauh. Sejak tahun 2003,
telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran Irak dan terus
meningkat hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri ke
Yordania dan Suriah, tetapi tetap ditemui pergerakan yang signifikan ke arah
Eropa, Amerika dan Australia (http://www.interpol.int/).
Organisasi
Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa, secara global, empat
juta orang dipindahkan secara ilegal setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi
karena praktek menyelundupkan manusia sangat menguntungkan, beresiko relatif
lebih rendah dan seiring dengan meningkatnya kerja jaringan kejahatan
teroganisir dalam ruang lingkup internasional. Sementara itu, Pemerintahan
Australia menyatakan bahwa selama periode dari tahun 1999 hingga tahun 2001
kecenderungan dalam aktivitas penyelundupan manusia terus berkembang,
ditunjukkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah pendatang yang
tidak sah dengan menggunakan perahu Namun dalam kasus Australia, permasalahan people
smuggling mengalami penurunan akibat kebijakan yang dicanangkan oleh
Depeartemen Imigrasi, Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA) dengan
penghentian hampir menyeluruh terhadap kapal-kapal yang tidak sah dalam beberapa
tahun terakhir. Mengacu kepada laporan DIMIA, pada tahun 2004 hingga 2005,
terdapat 94 kasus baru people smuggling, angka ini merupakan penurunan
sebesar 26,6% dibandingkan tahu 2003 dan 2004. Selain itu, 88 kasus people
smuggling diselesaikan pada tahun yang sama, yang juga merupakan penurunan
sebesar 38,5% dibandingkan tahun sebelumnya (Lihat di http://www.immi.gov.au/).
Hal
ini berbeda dengan Indonesia, hingga tahun 2010 kasus people smuggling terus
meningkat dengan berbagai modus operandi. Jumlah kasus imigran gelap yang masuk
ke Indonesia selama periode Bulan Januari hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai
61 kasus. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena
mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31
kasus. Jumlah imigran gelap yang masuk ke Indonesia pada tahun 2010 mengalami
peningkatan sebesar 5,7%, atau meningkat sebesar 67 orang sehingga jumlah
imigran pada tahun 2010 adalah 1.245 imigran, sedangkan di tahun 2009 adalah
1.178 imigran. Selain itu, Direktorat Jenderal Imigrasi juga mencatat bahwa
Pemerintah Indonesia mengirimkan kembali para imigran ke negara asal,
sedikitnya 1.290 orang imigran gelap, setiap tahunnya (http://www.antaranews.com/,
3 Agustus 2010).
People
smuggling atau persoalan imigran gelap adalah
sebuah permasalahan yang menjadi sebuah tantangan besar bagi para penegak
hukum, baik nasional dan internasional, dan juga mempengaruhi bagi perkembangan
kebijakan dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-negara di dunia (http://www.interpol.int/).
Latar
Belakang Terjadinya People
Smuggling.
People
smuggling sesungguhya berangkat dari adanya
dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang
memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya
tindakan penyelundupan manusia.
People
smuggling dapat terjadi karena banyak faktor,
terutama faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara
melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu
faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak
mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang
lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan
dapat mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah di Mexico yang cukup gagal dalam
menciptakan lapangan kerja (Richard Mines & Alain de Janvry, 1982: 444).
Kalaupun ada lapangan pekerjaan, upah yang minim menjadi alasan bagi para
imigran untuk melakukan migrasi dari negara asalnya (Michael P. Todaro &
Lydia Marusko, 1987: 101).
Masalah
ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik yang terjadi di negara asal
tersebut. Konflik atau perang yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya
kemiskinan sehingga jumlah pengangguran menjadi sangat banyak. Peperangan atau
konflik yang terjadi di negara asal tersebut terkait dengan aspek politik,
keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik yang terjadi juga
menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan daerah asalnya
demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik tersebut. oleh
karenanya mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat memberikan
jaminan keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Banyaknya
praktek penyelundupan manusia juga disebabkan oleh para imigran yang terbuai
bujuk rayu para agen penyelundup (smuggler). Selain itu, faktor
eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi alasan utama bagi
imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya adalah sistem
ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para imigran, dalam
pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Di
negara-negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha
dengan senang hati menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah
mereka yang jauh lebih rendah daripada pekerja di dalam negeri (Jean B.
Grossman, 1984: 243)
Dalam
konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek
kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi
kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang
strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke negara tujuan, seperti
Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan
Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah para
pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan
nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan
UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setuap orang
asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan
penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk
menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi (http://www.unhcr.or.id/).
Oleh karenanya para imigran gelap merasa aman untuk datang dan tinggal di
Indonesia; memasuki wilayah Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR
dengan dalih mencari suaka.
Rute
para imigran gelap dan orang-orang yang diselundupkan (people smuggling)
Meningkatnya
jumlah imigran gelap, sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Asia
selatan, mendarat di pantai barat dan terutama di Pulau Christmas, yang
terletak relatif dekat dengan kepulauan Indonesia (http://www.interpol.int/).
Pulau Christsmas adalah suatu pulau yang merupakan pusat casino di
Australia, tetapi sisi lain pulau tersebut merupakan tempat para
imigran ditahan di suatu Rumah Detensi Imigrasi yang benar-benar layak
huni dan nyaman sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan secara selectif,
dalam suatu konvensi internasional Australia merupakan salah satu negara yang
memiliki komitmen untuk membantu para imigran (pengungsi korban perang dan
pencari suaka) yang memasuki negaranya (Lihat http://www.komisikepolisianindonesia.com/)
Sebagian
besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk ke Malaysia, di mana mereka akan
dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Pulau Batam,
Indonesia. Dari sana, tujuan selanjutnya adalah mencapai Kota Jakarta dan
melanjutkan ke pulau-pulau Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Bali, Pulau
Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini nantinya mereka akan terus
melanjutkan perjalan menuju negara Australia (Interpol, op cit).
Jalur
lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia langsung menuju Kota Medan, tanpa
melalui Malaysia, kemudian terus menuju bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari
arah Utara, yaitu Laut Cina Selatan, para imigran gelap juga ditemukan, yang
langsung menuju Wilayah Jambi dan Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan
perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke Sulawesi Selatan, ke wilayah
Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara Australia.
Para
imigran gelap yang teroganisir oleh para penyelundup manusia ini umumnya
berasal dari Asia Selatan, seperti India, China, atau Asia Timur Tengah,
seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga dari Afrika. Mereka menjadikan
negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara transit, umumnya Malaysia dan
Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan dunia, dan berharap akan
mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke negara-negara ketiga, seperti ke
Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada.
B.
Teori dan Kebijakan Kriminal tentang People Smuggling
Illegal
migration diartikan sebagai suatu usaha untuk
memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa
menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah
atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah
secara sah (Gordon H. Hanson, 2007: 3-8. Lihat juga halaman 30). Terdapat tiga
bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan
secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan
cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi
sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi
milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan
tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis
masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (Friedrich Heckmann, 2004:
1106).
Philip
Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu
istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi
keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan
Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam
sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan
definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha
pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara
ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu
negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetap
dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan
pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada
gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang
melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran
berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan suatu tindakan, baik langsung
maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material
lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk
tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang
harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan
tersebut tergolong people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal
batas antar negara, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat
ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari keuntungan.
Dasar Hukum
Berikut
akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan
orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku, baik nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951
tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang
beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar
negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut,
tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut
definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud).
Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD
1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam
Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa
keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara
Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk
atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda
tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari
wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4).
Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin
kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki
surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam
Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan
keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun
penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp
30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk
wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau
memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi;
menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal
39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara
asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia
setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang
dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi
penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal
49 hingga 53.
Berdasarkan
ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people
smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu
tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan
adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang
Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang
Terorganisasi.
B E R S A M B U N G .............
smua file word (doc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar