Selasa, 29 April 2014

PERMASALAHAN IMIGRAN GELAP DAN PEOPLE SMUGGLING DAN USAHA-USAHA SERTA REKOMENDASI KEBIJAKAN DALAM MENANGGULANGINYA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Era globalisasi yang ada saat ini membuka peluang untuk terbukanya pasar bebas lintas antar negara. Masing-masing negara memiliki peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam negeri, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi dibarengi dengan kemajuan teknologi. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun semakin mudah untuk diakses.
Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar negara pada era globalisasi ini menyebabkan meningkatnya pula mobilitas barang dan manusia antar satu negara ke negara lain.  Dalam memenuhi kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses ke dalam ruang lingkup batasan negara. Masing-masing  individu juga dengan mudah melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai kepentingan. Dengan fenomena ini, berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan stabilitas negara, seperti menetapkan peraturan-peraturan tentang keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-lubang hitma yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu secara ilegal demi kepentingan pribadi.
Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang gampang dan peraturan yang mudah dipermainkan menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.  Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun muncul dalam kemasan yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut.  Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang terlalu berlebihan bedampak kepada manusia yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian dipertanyakan sebab-musabab munculnya  terkait dengan praktek kejahatan antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kejahatan transnasional  “berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia juga memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan transnasional.  Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas yang terbuka lebar atau lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi juga didukung oleh wilayah geografis Indonesia itu sendiri.  Indonesia yang bentuk negaranya adalah kepuluan secara geografis memiliki banyak pintu masuk: bandara, pelabuhan, batas darat dan perairan. Selain itu, Indonesia yang juga memiliki garais pantai yang sangat panjang, dan merupakan wilayah yang terletak pada posisi silang jalur lalu lintas dagang dunia, juga menjadi faktor utama yang menyebabkannya berpotensi kuat untuk terjadinya kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional di negeri ini juga dapat terjadi karena jumlah penduduk Indonesia yang terbilang besar. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara yang memiliki sumber tenaga kerja yang besar dan sebagai target untuk perkembangan pasar internasional. Berbagai kendala dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi persoalan kejahatan transnasional, seperti kurang sumber daya manusia yang kompeten, kendala dalam bidang teknologi, dan lemah secara yuridik dan diplomatik.
Besarnya potensi terjadinya kejahatan transnasional di Indonesia ini merupakan suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Dengan demikian perlu diadakan suatu kajian terhadap masalah-masalah yang terkait dengan kejahatan lintas negara yang melanda Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Semakin besarnya akses lintas negara membuka peluang besar pula terhadap terjadinya tindakan kejahatan yang melanggar peraturan perudang-undangan. Masalah dari suatu negara bisa menjadi masalah bagi negara lain karena banyak faktor yang menyebabkannya.
Dalam makalah ini akan dibahas salah satu masalah kejahatan transnasional yang perlu mendapat perhatian dari kebijakan yang ada di Indonesia, yaitu penyelundupan orang atau people smuggling.  Banyaknya pemberitaan di media yang mengabarkan tentang imigran gelap yang singgah di Indonesia, atau orang asing dari negara lain yang meminta suaka ke Indonesia, menegaskan bahwa people smuggling merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah people smuggling yang belum tertangani dengan baik memberikan banyak kerugian yang signifikan bagi bangsa ini. Maka dari itu, berangkat dari masalah people smuggling ini penulis menyusun rumusah masalah sebagai berikut:
  1. Apa latar belakang yang menyebabkan terjadinya people smuggling yang melanda Indonesia?
  2. Bagaimanakah kebijakan yang telah disusun di Indonesia terhadap masalah people smuggling tersebut serta pengaruhnya terhadap usaha pengatasan masalah tentang imigran gelap?
  3. Apa saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam mengatasi masalah people smuggling?
 C. Tujuan
Tujuan pertama pembuatan makalah ini adalah memaparkan dan menjelaskan dengan jelas latar belakang yang menyebabkan terjadinya praktek penyelundupan orang sehingga menimbulkan masalah bagi Indonesia. Yang kedua adalah melihat dan menilai kebijakan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah dalam usahanya mengatasi masalah people smuggling. Yang terkahir adalah menyajikan solusi dan saran atau rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan dalam menghadapi masalah yang dimaksud guna untuk mengoreksi kebijakan yang telah ada.

D. Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dari pembuatan makalah ini adalah dapat mengetahui dan melihat masalah people smuggling secara mendalam, mulai dari latar belakang terjadinya masalah tersebut hingga usaha-usaha apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasinya. Makalah ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan sebagai saran dan kritik terhadap berbagai langkah yang telah diambil dalam suatu kebijakan dalam menghadapi masalah people smuggling. Selain itu, makalah ini juga dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang studi kejahatan, khususnya dalam bidang kebijakan kriminal dan kejahatan transnasional.




BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. Permasalahan People Smuggling
Migrasi bukanlah fenomena yang baru. Selama berabad-abad, manusia telah melakukan perjalanan untuk berpindah mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang lain. Dalam beberapa dekade terakhir ini, proses globalisasi telah meningkatkan faktor yang mendorong para imigran untuk mencari peruntungan di luar negeri. Hal ini kemudian menyebabkan meningkatnya jumlah aktivitas migrasi dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur ke Eropa Barat, Australia dan Amerika Utara (http://www.interpol.int/). Berangkat dari fenomena ini lah kemudian muncul praktek penyimpangan, yaitu melakukan aksi untuk memindahkan manusia ke negara-negara tujuan secara ilegal karena batasan dan ketidakmampuan dari para imigran dalam memenuhi syarat sebagai imigran resmi.
People smuggling adalah sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena people smuggling secara jelas melanggar ketentuan-ketentuan resmi dari negara-negara yang bersangkutan. Telah diakui bahwa people smuggling merupakan suatu tindakan melanggar hak asasi manusia dan bentuk perbudakan kontemporer. Para imigran diperlakukan dengan tidak baik. Sangat sering kondisi perjalanan yang tidak manusiawi; ditumpuk dalam angkutan (umumnya perahu) yang penuh dan sesak, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Setibanya di tempat tujuan, status ilegal mereka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak para penyelundup yang memaksa bekerja selama bertahun-tahun di pasar tenaga kerja ilegal. Para imigran secara tidak langsung dieksploitasi oleh pihak tertentu demi keuntungan materil (Ibid).
People smuggling menjadi lahan bisnis tersendiri yang sangat menguntungkan. Diperkirakan setiap tahunnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar lima hingga sepuluh juta  dolar. Berdasarkan perkiraan tersebut, setidaknya satu juta imigran harus membayar rata-rata sebesar lima hingga sepuluh ribu dolar secara paksa ketika melintasi perbatasan antar negara. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat bahwa penyelundupan manusia, yang merupakan “sisi gelap” dari globalisasi, adalah sebuah bisnis besar yang kian tumbuh dan berkembang (Philip Martin & Mark Miller, 2000: 969). Selain itu, people smuggling juga menimbulkan masalah tersendiri bagi negara tempat mereka meminta suaka. Hal ini juga melanda negara Indonesia.
Pada bulan Oktober dan November 2009 lalu, aparat keamanan Republik Indonesia menangkap serombongan imigran dari dua negara, Sri Lanka dan Afganistan, karena memasuki wilayah Indonesia di daerah Banten. Kejadian pada tanggal 11 Oktober 2009 lalu, sebanyak 255 imigran asal Sri Lanka, yang menaiki kapal kayu pengangkut barang, ditangkap di perariran Selat Sunda. Kemudian pada tanggal 15 November 2009, giliran 40 imigran asal Afganistan yang ditangkap di daerah Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. Pada awalnya Pemerintah memperlakukan para imigran dengan baik dengan alasan menyunjung Hak Asasi Manusia. Namun kemudian muncul pertanyaan sampai kapan perhatian itu harus diberikan; merelakan para imigran sebagai tanggungan negara Indonesia menjadi masalah tersendiri yang dihadapi oleh Pemerintah, terutama Pemerintah Daerah Provinsi Banten (http://female.kompas.com, 23 November 2009).
Penjelasan di atas adalah salah satu contoh kasus tentang penyelundupan orang yang terjadi di Indonesia. Banyak para imigran gelap yang diselundupkan dengan negara tujuan ke Australia, melewati perairan Indonesia sehingga Indonesia terkena imbasnya. Namun demikian, maraknya kejadian penyelundupan manusia yang berhasil dideteksi oleh aparat keamanan ternyata dapat terjadi dengan adanya kontribusi dari orang Indonesia sendiri. Salah satunya adalah nelayan-nelayan Indonesia yang dilibatkan dalam usaha menyelundupkan para imigran tersebut dengan diming-imingi sejumlah uang (Berita Nasional, http://vibizdaily.com/, 25 Juli 2010). Dalam pemberitaan yang lain, dalam kasus 74 imigran gelap asal Iran dan Afganistan di Yogyakarta, juga melibatkan para nelayan (http://liranews.com/, 18 Oktober 2010).
Masalah penyelundupan manusia yang melanda Indonesia semakin serius. Jika pada awalnya para imigran gelap yang tertangkap oleh aparat keamanan Republik Indonesia di perbatasan wilayah negara adalah merupakan kelompok yang memiliki tujuan untuk ke negara Australia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara transit saja, kini malah negara Indonesia yang menjadi tujuan utama.
Praktek penyelundupan orang atau people smuggling telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir dan pada saat ini, laporan signifikan mengenai jumlah imigrasi tidak resmi terus meningkat di berbagai negara. People smuggling umumnya dapat terjadi dengan persetujuan dari orang atau kelompok yang berkeinginan untuk diselundupkan, dan alasan yang paling umum dari mereka adalah peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau memperbaiki status ekonomi, harapan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik bagi diri sendiri atau keluarga, dan juga untuk pergi menghindari konflik yang terjadi di negara asal.
Menurut laporan yang dimuat di website Organisasi Polisi Internasional (Interpol), pada tahun 2006 hampir 31.000 imigran, setengahnya berasal dari Senegal, berbondong-bondong bergerak menuju kepulauan Canary, Spanyol. Para imigran gelap cenderung melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu dalam perjalanan di laut terbuka dengan jarak yang demikian jauh. Sejak tahun 2003, telah ada perpindahan yang signifikan dari para imigran Irak dan terus meningkat hingga tahun 2006. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri ke Yordania dan Suriah, tetapi tetap ditemui pergerakan yang signifikan ke arah Eropa, Amerika dan Australia (http://www.interpol.int/).
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan bahwa, secara global, empat juta orang dipindahkan secara ilegal setiap tahunnya. Hal ini dapat terjadi karena praktek menyelundupkan manusia sangat menguntungkan, beresiko relatif lebih rendah dan seiring dengan meningkatnya kerja jaringan kejahatan teroganisir dalam ruang lingkup internasional. Sementara itu, Pemerintahan Australia menyatakan bahwa selama periode dari tahun 1999 hingga tahun 2001 kecenderungan dalam aktivitas  penyelundupan manusia terus berkembang, ditunjukkan dengan peningkatan yang signifikan terhadap jumlah pendatang yang tidak sah dengan menggunakan perahu Namun dalam kasus Australia, permasalahan people smuggling mengalami penurunan akibat kebijakan yang dicanangkan oleh Depeartemen Imigrasi, Multikultural dan Urusan Pribumi (DIMIA) dengan penghentian hampir menyeluruh terhadap kapal-kapal yang tidak sah dalam beberapa tahun terakhir. Mengacu kepada laporan DIMIA, pada tahun 2004 hingga 2005, terdapat 94 kasus baru people smuggling, angka ini merupakan penurunan sebesar 26,6% dibandingkan tahu 2003 dan 2004.  Selain itu, 88 kasus people smuggling diselesaikan pada tahun yang sama, yang juga merupakan penurunan sebesar 38,5% dibandingkan tahun sebelumnya (Lihat di http://www.immi.gov.au/).
Hal ini berbeda dengan Indonesia, hingga tahun 2010 kasus people smuggling terus meningkat dengan berbagai modus operandi. Jumlah kasus imigran gelap yang masuk ke Indonesia selama periode Bulan Januari hingga Bulan Mei, tahun 2010 mencapai 61 kasus. Angka ini merupakan peningkatan yang sangat signifikan karena mencapai hampir 100% dari jumlah kasus ditahun sebelumnya, yaitu sebesar 31 kasus. Jumlah imigran gelap yang masuk ke Indonesia pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 5,7%, atau meningkat sebesar 67 orang sehingga jumlah imigran pada tahun 2010 adalah 1.245 imigran, sedangkan di tahun 2009 adalah 1.178 imigran. Selain itu, Direktorat Jenderal Imigrasi juga mencatat bahwa Pemerintah Indonesia mengirimkan kembali para imigran ke negara asal, sedikitnya 1.290 orang imigran gelap, setiap tahunnya (http://www.antaranews.com/, 3 Agustus 2010).
People smuggling atau persoalan imigran gelap adalah sebuah permasalahan yang menjadi sebuah tantangan besar bagi para penegak hukum, baik nasional dan internasional, dan juga mempengaruhi bagi perkembangan kebijakan dan undang-undang tentang imigrasi bagi negara-negara di dunia (http://www.interpol.int/).

Latar Belakang Terjadinya People Smuggling.
People smuggling sesungguhya berangkat dari adanya dorongan untuk menjadi imigran gelap. Oleh karena itu, sebab-sebab yang memunculkan terjadinya imigran gelap dapat pula menjadi sebab-sebab munculnya tindakan penyelundupan manusia.
People smuggling dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor pendorong yang menyebabkan banyaknya penduduk dari suatu negara melakukan perpindahan dari negara asal ke negara-negara tujuan. Salah satu faktor yang paling utama adalah konsekuensi ekonomi. Sebuah negara yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan menyebabkan banyaknya pengangguran yang lebih memilih pindah dari negara asalnya untuk mencari tempat dengan harapan dapat mendapatkan pekerjaan. Contohnya adalah di Mexico yang cukup gagal dalam menciptakan lapangan kerja (Richard Mines & Alain de Janvry, 1982: 444). Kalaupun ada lapangan pekerjaan, upah yang minim menjadi alasan bagi para imigran untuk melakukan migrasi dari negara asalnya (Michael P. Todaro & Lydia Marusko, 1987: 101).
Masalah ekonomi ini juga dapat dipicu oleh konflik yang terjadi di negara asal tersebut. Konflik atau perang yang berkepanjangan menyebabkan terjadinya kemiskinan sehingga jumlah pengangguran menjadi sangat banyak. Peperangan atau konflik yang terjadi di negara asal tersebut terkait dengan aspek politik, keamanan, sukuisme, dan sebagainya. Selain itu, konflik yang terjadi juga menjadi pendorong bagi para imigran gelap untuk meninggalkan daerah asalnya demi mencari tempat yang aman atau terlepas dari konflik tersebut. oleh karenanya mereka meminta suaka ke negara-negara maju yang dapat memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Banyaknya praktek penyelundupan manusia juga disebabkan oleh para imigran yang terbuai bujuk rayu para agen penyelundup (smuggler). Selain itu, faktor eksternal yang berasal dari negara tujuan juga menjadi alasan utama bagi imigran gelap untuk berpindah dari negara asal, diantaranya adalah sistem ekonomi negara tujuan yang stabil sehingga memungkinkan para imigran, dalam pemahaman mereka, mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak. Di negara-negara tujuan yang notabennya adalah negara maju, para pelaku usaha dengan senang hati menyambut dan memanfaatkan jasa pekerja ilegal karena upah mereka yang jauh lebih rendah daripada pekerja di dalam negeri (Jean B. Grossman, 1984: 243)
Dalam konteks Indonesia, yang menjadi faktor penarik untuk terjadinya praktek kejahatan ini antara lain adalah keadaan geografis Indonesia yang luas, tetapi kekurangan satuan tugas pengamanan wilayah; Indonesia adalah negara yang strategis sebagai tempat transit sebelum sampai ke negara tujuan, seperti Australia. Indonesia, yang belum menandatangai Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967, posisinya sangat lemah dalam mengatasi masalah para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain karena tidak memiliki peraturan nasional yang secara khusus membahas masalah tersebut. Selain itu, keberadaan UNHCR di Jakarta membuat Pemerintah Republik Indonesia merujuk setuap orang asing yang masuk dengan alasan mencari suaka ke UNHCR untuk melaksanakan penentuan status pengungsi. Pemerintah Indonesia mengizinkan para imigran untuk menetap di Indonesia hingga didapatkan suatu solusi (http://www.unhcr.or.id/). Oleh karenanya para imigran gelap merasa aman untuk datang dan tinggal di Indonesia; memasuki wilayah Indonesia dengan memanfaatkan keberadaan UNHCR dengan dalih mencari suaka.
Rute para imigran gelap dan orang-orang yang diselundupkan (people smuggling)
Meningkatnya jumlah imigran gelap, sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Asia selatan, mendarat di pantai barat dan terutama di Pulau Christmas, yang terletak relatif dekat dengan kepulauan Indonesia (http://www.interpol.int/). Pulau Christsmas adalah suatu pulau yang merupakan pusat casino di Australia, tetapi sisi lain pulau tersebut merupakan tempat para imigran ditahan di suatu Rumah Detensi Imigrasi yang benar-benar layak huni dan nyaman sebelum mereka memperoleh kewarganegaraan secara selectif, dalam suatu konvensi internasional Australia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen untuk membantu para imigran (pengungsi korban perang dan pencari suaka) yang memasuki negaranya (Lihat http://www.komisikepolisianindonesia.com/)
Sebagian besar pengungsi dari Asia pertama kali masuk ke Malaysia, di mana mereka akan dibawa ke selatan sebelum menyeberang dengan kapal feri ke Pulau Batam, Indonesia. Dari sana, tujuan selanjutnya adalah mencapai Kota Jakarta dan melanjutkan ke pulau-pulau Indonesia bagian selatan, seperti Pulau Bali, Pulau Flores atau Lombok. Dan dari pulau-pulu ini nantinya mereka akan terus melanjutkan perjalan menuju negara Australia (Interpol, op cit).
Jalur lain juga ditemukan melalui Lautan Hindia langsung menuju Kota Medan, tanpa melalui Malaysia, kemudian terus menuju bagian Selatan Pulau Sumatera. Dari arah Utara, yaitu Laut Cina Selatan, para imigran gelap juga ditemukan, yang langsung menuju Wilayah Jambi dan Sumatera Selatan, kemudian melanjutkan perjalan dengan arah yang sama ke Jawa, lanjut ke Sulawesi Selatan, ke wilayah Kepulauan Sunda Kecil, dan terus menuju negara Australia.
Para imigran gelap yang teroganisir oleh para penyelundup manusia ini umumnya berasal dari Asia Selatan, seperti India, China, atau Asia Timur Tengah, seperti Iran, Irak, Afghanistan, juga dari Afrika. Mereka menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai negara transit, umumnya Malaysia dan Indonesia, yang meruakan lalu lintas perdagangan dunia, dan berharap akan mendapat bantuan dengan dikrimkannya mereka ke negara-negara ketiga, seperti ke Australia, Negara-negara maju di Eropa Barat, Amerika, dan Kanada.

B. Teori dan Kebijakan Kriminal tentang People Smuggling
Illegal migration diartikan sebagai suatu usaha untuk memasuki suatu wilayah tanpa izin. Imigran gelap dapat pula berarti bahwa menetap di suatu wilayah melebihi batas waktu berlakunya izin tinggal yang sah atau melanggar atau tidak memenuhi persyaratan untuk masuk ke suatu wilayah secara sah (Gordon H. Hanson, 2007: 3-8. Lihat juga halaman 30). Terdapat tiga bentuk dasar dari imigran gelap. Yang pertama adalah yang melintasi perbatasan secara ilegal (tidak resmi). Yang kedua adalah yang melintasi perbatasan dengan cara, yang secara sepintas adalah resmi (dengan cara yang resmi), tetapi sesungguhnya menggunakan dokumen yang dipalsukan atau menggunakan dokumen resmi milik seseorang yang bukan haknya, atau dengan menggunakan dokumen remsi dengan tujuan yang ilegal. Dan yang ketiga adalah yang tetap tinggal setelah habis masa berlakunya status resmi sebagai imigran resmi (Friedrich Heckmann, 2004: 1106).
Philip Martin dan Mark Miller menyatakan bahwa smuggling merupakan suatu istilah yang biasanya diperuntukkan bagi individu atau keompok , demi keuntungan, memindahkan orang-orang secara tidak remsi (melanggar ketentuan Undang-Undang) untuk melewati perbatasan suatu negara. Sedangkan PBB dalam sebuah Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi memberikan definisi dari smuggling of migrants sebagai sebuah usaha pengadaan secara sengaja untuk sebuah keuntungan bagi masuknya seseorang secara ilegal ke dalam suatu negara dan/atau tempat tinggal yang ilegal dalam suatu negara, dimana orang tersebut bukan merupakan warga negara atau penduduk tetap dari negara yang dimasuki (Philip, op cit).
Sedangkan pengertian people smuggling adalah sebuah istilah yang merujuk kepada gerakan ilegal yang terorganisasi dari sebuah kelompok atau individu yang melintasi perbatasan internasional, biasanya dengan melakukan pembayaran berdasarkan jasa. Penyelundupan migrant merupakan suatu tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, guna memperoleh suatu keuntungan finansial atau material lainnya dengan cara memasukkan seseorang yang bukan warga negara atau penduduk tetap suatu negara tertentu secara ilegal ke negara tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa terdapat tiga unsur penting yang harus ada (baik secara terpisah maupun tidak) untuk menyatakan suatu tindakan tersebut tergolong people smuggling, yaitu harus ada kegiatan melintasi tapal batas antar negara, aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang bersifat ilegal, dan kegiatan tersebut memiliki maksud untuk mencari keuntungan.

Dasar Hukum
Berikut akan dijelaskan dasar hukum yang membahas tentang pengungsi, keimigrasian, dan orang yang diselundupkan (people smuggling) berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, baik nasional dan internasional. Dalam Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi adalah seseorang yang karena ketakutan yang beralasan, seperti dianiaya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, atau karena pandangan politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari negara asalnya tersebut (menurut definisi formal yang tercantum dalam Pasal 1A dalam Konvensi yang dimaksud). Ketentuan ini didukung oleh Undang-Undang nasional, yaitu Pasal 28 G (2) UUD 1945 yang menjamin adanya hak untuk mencari suaka, dan Pasal 28 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, dijelaskan bahwa keimigrasian adalah “hal ihwal lalu lintas irang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.” Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki surat perjalanan, atau tanda tertentu yang dapat mengizinkan orang tersebut untuk masuk atau keluar dari wilayah Indonesia, yaitu berupa Izin Masuk atau Tanda Bertolak (Pasal 4). Sedangkan dalam Pasal 8, pejabat imigrasi berhak menolak atau tidak member izin kepada warga negara asing untuk masuk ke wilayah Indonesia jika tidak memiliki surat perjalanan yang sah dan visa.
Dalam Pasal 49 hingga 54, dinyatakan ketentuan pidana bagi yang melanggar peraturan keimigrasian. Ketentuan yang berlaku adalah hukuman kurungan selama satu tahun penjara hingga enam tahun penjara, atau denda sebesar Rp 5.000.000,- hingga Rp 30.000.000,-, berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seperti keluar masuk wilayah Indoesia tanpa melalui pemeriksaan; dengan sengaja menggunakan atau memalsukan surat perjalanan, visa dan izin keimigrasian yang tidak resmi; menyalahgunakan atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin keimigrasian; melanggar kewajiban yang telah ditentukan dalam Pasal 39; berada di wilayah Indonesia secara tidak sah (pernah dideportasi ke negara asal dan berada kembali di wilayah Indonesia) atau yang tetap berada di Indonesia setelah masa berlaku keimigrasian habis; serta pelanggaran oleh orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, memberi pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang telah diduga melanggar Pasal 49 hingga 53.
Berdasarkan ketentuan dalam UU No. 9 Tahun 1999 tersebut, dapat dimengerti bahwa people smuggling (penyelundupan manusia) dan illegal migration adalah suatu tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang. Ha ini dipertegas dengan adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi.





 B E R S A M B U N G .............









 smua file word (doc) 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar