Minggu, 29 Desember 2013

Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik



Pelaksanaan Prinsip-prinsip Good Governance dan Reinventing Government dalam Pelayanan Publik



PEMBAHASAN

A. Paradigma Good Governance dalam Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government (pendekatan legalitas). Dalam merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan keluaran (out put), serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Penggunan paradigma rule government atau pendekatan legalitas, dewasa ini cenderung mengedepankan prosedur, hak dan kewenangan atas urusan yang dimiliki (kepentingan pemerintah daerah), dan kurang memperhatikan prosesnya. Pengertiannya, dalam proses merumuskan, menyusun dan menetapkan kebijakan, kurang optimal melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi, maupun masyarakat).
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah sangat strategis dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik, dengan demikian pelayanan publik memiliki nilai strategis dan menjadi prioritas untuk dilaksanakan. Menjadi pertanyaan, apakah fungsi pemerintahan yang lainnya tidak strategis dan tidak prioritas? Bukankah dalam penyelenggaraan pemerintahan juga banyak masalah yang mendesak yang harus ditangani? Jawabannya tidak sederhana. Tetapi kalau kita memahami essensi kepemerintahan yang baik dan hubungannya dengan tujuan pemberian otonomi daerah, maka sebenarnya jelas arahnya, yaitu pemerintah daerah diberi tugas dan fungsi, serta tanggungjawab dan kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang baik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap (seperti; Jembrana, Solok, Sragen dan daerah lainnya)
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.
B. Desentralisasi dan Reformasi Pelayanan Publik
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Dengan otonomi daerah berarti telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (perda) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan diharapkan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.
Beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian serius dalam pelaksanaan otonomi daerah antara lain pelayanan publik, formasi jabatan, pengawasan keuangan daerah dan pengawasan independen. Yang perlu dikedepankan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah daerah mampu membangun kelembagaan daerah yang kondusif, sehingga dapat mendesain standar Pelayanan Publik yang mudah, murah dan cepat. Pelayanan publik merupakan bagian dari pemerintahan yang baik (good governance) yang salah satu parameternya adalah cara aparatur pemerintah memberikan pelayanan kepada rakyat. Prinsip good governance bisa terwujud jika pemerintahan diselenggarakan secara transparan, responsif, partisipatif, taat hukum (rule of law), sesuai konsensus, nondiskriminasi, akuntabel, serta memiliki visi yang strategis.
Bila kita mengamati lebih dalam praktik negara atau pemerintah kita terkait dengan pelayanan publik, maka tampak jelas bahwa arah dan kebijakan layanannya tidak pasti. Masyarakat atau rakyat pada dasarnya memiliki hak-hak dasar, yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya atau paling tidak terjamin pelaksanaannya. Akan tetapi, dalam realitasnya, banyak arah dan kebijakan layanan publik tidak ditujukan guna peningkatan kesejahteraan publik. Namun sebaliknya, layanan publik mendorong masyarakat atau rakyat untuk “melayani” elit penguasa.
Pemerintah melahirkan berbagai kebijakan dalam bentuk hukum, perundang-undangan, peraturan-peraturan dan lainnya bertalian dengan layanan publik. Berbagai kebijakan itu katanya bermaksud hendak melindungi hak-hak warga negara, meskipun dalam praktiknya banyak yang melanggar kepentingan warga negara, misalnya penggusuran lahan rakyat untuk bangunan super market. Pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri adalah kebijakan layanan publik yang melanggar hak-hak warga, khususnya kaum tani. Pelayanan publik yang buruk merupakan salah satu bentuk penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan maladministrasi.
Maladministrasi adalah tindakan atau perilaku penyelenggara administrasi negara dalam pemberian pelayanan publik yang bertentangan dengan kaidah serta hukum yang berlaku. Atau, menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang menimbulkan kerugian serta ketidakadilan. Prinsip “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” salah satunya juga dimotivasi perilaku mencari keuntungan sesaat kalangan aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan publik. Masyarakat yang tidak tahan diperlakukan demikian oleh pemberi pelayanan publik akhirnya terjebak ikut berbuat tercela dengan memberikan suap kepada aparat selaku pemberi layanan.
Reformasi pelayanan publik ternyata masih tertinggal dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Sistem dan filsafat yang mendasari pelayanan publik di Indonesia tidak hanya ketinggalan jaman, tetapi juga menghasilkan kinerja dibawah standar dalam masyarakat yang berubah secara cepat. Kita masih jauh tertinggal dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand dalam indikator-indikator gabungan kualitas birokrasi, korupsi, dan kondisi sosial ekonomi.
Pendidikan, Kesehatan dan Hukum (administrasi) adalah tiga komponen dasar pelayanan publik yang harus diberikan oleh penyelenggaran negara (pemerintah) kepada rakyat. Hingga saat ini, pelayanan tersebut tampak belum maksimal. Kondisi iklim investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh institusi-institusi pemerintahan. Bahkan muncul berbagai permasalahan; masih terjadinya diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan, birokrasi yang terkesan berbelit-belit serta rendahnya tingkat kepuasan masyarakat. Faktor-faktor penyebab buruknya pelayanan publik selama ini antara lain:
  • Kebijakan dan keputusan yang cenderung menguntungkan para elit politik dan sama sekali tidak pro rakyat.
  • Kelembagaan yang dibangun selalu menekankan sekedar teknis-mekanis saja dan bukan pedekatan pe-martabat-an kemanusiaan.
  • Kecenderungan masyarakat yang mempertahankan sikap nrima (pasrah) apa adanya yang telah diberikan oleh pemerintah sehingga berdampak pada sikap kritis masyarakat yang tumpul.
  • Adanya sikap-sikap pemerintah yang berkecenderungan mengedepankan informality birokrasi dan mengalahkan proses formalnya dengan asas mendapatkan keuntungan pribadi.







 smua file word (doc) 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar